Sabtu, 03 Desember 2011

OPINI: ?Kudeta Terhadap Pemekaran…! Sekilas, coba kita memperhatikan kondisi wilayah Kabupaten Manggarai yang telah dimekarkan menjadi tiga bagian, yakni Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur. Dari realitas sosial yang ada muncul sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik kritis kita, yaitu tentang apakah akan dan telah tercapaikah tujuan pemekaran itu sendiri yakni peningkatan taraf hidup masyarakat dan mensejahterahkan rakyat..??? Ambisi berbagai daerah yang ingin memekarkan diri dari daerah induk memang sangat banyak bermunculan. Dengan alasan untuk mensejahterakan rakyat lewat pemekaran, masyarakat di daerah digiring pada suatu pola pemikiran instan tanpa melalui tahapan pengkajian dan analisis kritis terhadap potensi daerah baik sumber daya alam (SDA) maupun sumber daya manusianya (SDM). Masyarakat terkadang lebih memprioritaskan hasrat untuk memekarkan daerahnya ketimbang mencari problem solving dari kompleksnya permasalahan yang ada. Mungkin keberanian untuk bersikap kritis terhadap segala kondisi telah sengaja dipenjarakan oleh pemegang kekuasaan. Karakter masyarakat yang masih hidup dalam nilai-nilai budaya dan kearifan lokal serta sikap apatis yang kerap diderita oleh generasi muda kita telah memperburuk keadaan masyarakat di daerah. Faktanya banyak daerah pemekaran di negeri ini hanya tergantung pada bantuan dana dari pemerintah pusat (APBN). Sedangkan pemasukan untuk APBD ternyata sangat minim dan akan terasa kurang jika manajemen pengelolaan pemerintah tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak persoalan di daerah tidak dapat terselesaikan seperti, pembangunan infrastruktur terkesan lambat, kurangnya perhatian terhadap pengembangan potensi daerah, berbagai kasus korupsi di jajaran pemerintah, lemahnya mentalitas pejabat daerah dengan tumbuh suburnya kebiasaan kolusi dan nepotisme, dan banyak lagi persoalan yang menumpuk. Hal inilah yang menjadikan pemekaran hanya menjadi alat untuk kaum elite di daerah dalam membangun kerajaan-kerajaan kecil yang haus kekuasaan dan kekayaan pribadi maupun kelompok. Oleh karena itu, haruskah masyarakat kita dikorbankan oleh kepentingan politik segelintir orang? Sungguh ironis sekali melihat hasil dari pemekaran di berbagai daerah, manggarai khususnya. Sudah seharusnya pendidikan politik dan usaha melakukan perubahan dimulai dari sekarang, baik oleh masyarakat itu sendiri terlebih lagi peran kaum muda sebagai agen perubahan. Sekali lagi, pemekaran di manggarai hanyalah satu contoh dari banyaknya contoh gagalnya pemerintah kita baik pusat maupun daerah dalam upaya mensejahterahkan rakyat. Tanggung jawab inilah yang teah dilupakan kaum elite dalam struktur sosial masyarakat kita, baik itu elite politik, agama, adat, serta kaum terpelajar dan kaum muda. Sudah seharusnya pemekaran bukanlah menjadi tujuan, akan tetapi membangun tatanan masyarakat yang adil dan sejahterah itulah yang seharusnya dijadikan tujuan akhir kita. Semua stekeholder harus memperjuangkan tujuan ini, jangan sampai prinsip dan keberanian kita untuk bersikap kritis terpenjara oleh ketakutan-ketakutan semu. Semoga masyarakat manggarai hidup damai dalam keharmonisan dan kesejahteraan. Mungkin kutipan terakhir ini dapat mengingatkan kita semua, “lebih baik aku diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan (Soe Hoek Gie)” .
KEMENTRIAN AGAMA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAKASSAR FAKULTAS SYARI’AH & HUKUM UIN ALAUDDIN Kampus 1 Jln. Sltn. Alauddin No.63 Makassar tlp. (0411)864924 Fax. 864923 Kampus 2 Jln. Sltn. Alauddin no.36 Samata, Sungguminasa-Gowa. Tlp. 424835 Fax.424836
Perihal : Pengajuan Judul Skripsi Kepada Yth Bapak Ketua Jurusan Peradilan Agama Di Tempat Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Menerangkan bahwa: Nama : Abdurrahman Nim : 10 100 10 800 4 Jurusan : Peradilan Agama Semester : VII Dengan ini mengajukan beberapa judul skripsi: 1. Pandangan Mahasiswa Jurusan Akhwalul Syaksiyah UIN Alaudin Makassar Terhadap Aksi Demonstrasi Mahasiswa. 2. Tinjauan Hukum Islam terhadap Penggunaan Facebook dan Dampaknya bagi Remaja Muslim di Kec. Reok Kab. Manggarai - NTT 3. Gambaran Pelaksanaan Penyaluran Hasil Shadaqah di LAZIS Wahdah Islamiyah Kota Makassar. 4. Tinjauan Hukum Islam terhadap Pengamen Jalanan di Kota Makassar. 5. Tinjauan Hukum Islam terhadap Adat Kaboro Weki dalam Pelaksanaan Pernikahan Masyarakat Muslim Kec. Reok, Kab. Manggarai-NTT Demikian surat pengajuan ini dibuat, atas perhatiannya kami haturkan banyak terima kasih. Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Makassar, 1 Desember 2011 Mengetahui, Mahasiswa Abdurrahman NIM: 10100108004
Politik …”Konyol” Menuju Ambisi Kekuasaan Gegap gempita reformasi yang telah melahirkan janin demokrasi ternyata mampu menghipnotis republik ini menuju kedalam lingkaran setan dan kebuntuan intelektual. Carut marut politik kekuasaan dan rusaknya tatanan hukum bangsa ini merupakan indikasi tak terbantahkan dari kegagalan sistem dan rezim yang berkuasa di negeri yang kaya akan suber daya alamnya. Terlebih lagi jika kegagapan menggunakan instrumen demokrasi masuk ke dunia pendidikan kita, sehingga “bola panas” demokrasi terjebak oleh intrik politik kekuasaan yang melenceng dari misi suci dimerdekakannya republik Indonesia ini. Dan kini bola panas tersebut telah memporak-porandakan semboyan “bhineka tunggal ika” yang selama ini menjadi tali pengikat republik ini, mulai dari ujung timur hingga ujung barat. Hasilnya, berbagai pesta demokrasi diwarnai chaotic (suasana kericuhan) dan konflik yang tiada akhir dipertontonkan oleh berbagai media masa secara fulgar sebagai komoditas bisnis di era kebebasan pers saat ini. Akhirnya budaya politik “konyol” ini menjadi doktrin bagi generasi muda bangsa ini, melalui basis-basis partai politik, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kepemudaan, bahkan sampai kepada organisasi kemahasiswaan (baik internal maupun eksternal). Maka benarlah apa yang telah disampaikan oleh tokoh lintas agama beberapa waktu yang lalu, bahwa bangsa yang kita cintai ini berada di ambang kebangkrutan. Apalagi sikap para wakil rakyat kita di DPR tidak jauh berbeda dengan sikap kaum intelektual muda kita, yakni terjebak dalam mentalitas cengeng, hedonis, dan apatis. Semangat perjuangan ’45 dan reformasi hanya menjadi dongeng yang terbingkai rapi dalam lembaran sejarah republik. Sikap kritis dan idealis dianggab sebagai pengganggu yang harus disingkirkan dan dicap sebagai bentuk kejahatan. Struktur sosial masyarakat kita yang sangat rapuh dan tingkat kualitas sumber daya manusia yang tidak merata telah memperburuk keadaan bangsa kita. Dengan alasan globalisasi, indonesia pun pelan tapi pasti masuk dalam pasar bebas dan ledakan liberalisasi ekonomi dunia. Langkah ini pun mengakibatkan berbagai aset publik dan kekayaan alam kita digadaikan kepada investor atau pemodal asing. Sedangkan, rakyat pribumi sendiri harus menjadi kuli devisa di negara lain dan hanya menjadi penonton di negeri sendiri. Realitas yang cukup ironis ini justru dibiarkan dengan sengaja oleh para pemimpin dan kaum intelektual muda kita. Krisis identitas dan pilihan politik yang konyol telah menggerus keyakinan serta keberanian pemimpin serta generasi muda bangsa ini untuk merubah nasib kaumnya. Proses regenerasi dan pengkaderan hanya digunakan sebagai alat politik untuk mengumpulkan basis masa sehingga dapat melanggengkan ambisi kekuasaan itu sendiri. Kondisi inilah yang memantapkan dominasi kapitalisme ke segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan cara mengubah wajah serta bentuknya. Akhirnya wajah-wajah kemunafikan tersebut telah berhasil mengkudeta kekuasan bangsa yang besar ini dari pemilik sejatinya, yakni rakyat indonesia dari sabang sampai merauke. Semoga, semua realitas memilukan ini dapat membangkitkan kesadaran rakyat pribumi untuk segera menciptakan momentum perlawanan dan perubahan. Karena potensi kerakyatan bangsa ini mampu melahirkan gerakan revolusi yang besar, sehingga mengembalikan segenap harapan dari misi suci kemerdekaan republik Indonesia yang kita cintai. Mungkin kutipan terakhir ini dapat mengingatkan kita semua, “lebih baik aku diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan (Soe Hoek Gie)”. Perjangan Belum Usai….. Revolusi Harga Mati!!!
Meng”Gusur” Harapan Menuju Kapitalis…?! Akhirnya, malapetaka yang ditakutkan itu akan menimpa para pedagang kecil dan pemilik kantin yang selama ini menyediakan makanan, minuman, dan berbagai kebutuhan yang murah meriah bagi mahasiswa. Hal ini dikarenakan kebijakan penggusuran lapak dan kantin pedagang kecil yang selama ini dianggab oleh pemangku jabatan mengganggu bahkan merusak pemandangan kampus yang katanya islam berlebel negeri tersebut. Sungguh ironis sekali, pedagang kecil dan pemilik kantin sederhana yang berjejer di pinggiran tanah milik negara ini dianggab benalu yang memalukan bagi kampus yang berambisi menjadi kampus modern bertaraf internasional. Inilah realitas yang memilukan di negeri pancasilais, dimana gedung-gedung megah nan mewah menjadi tolak ukur penilaian mutu dan kualitas pendidikan. Bahkan kita kehilangan jati diri sebagai pribumi dengan berkiblat pada corong kapitalis, walaupun harus berhutang untuk membangun fisik kampus dan mengubahnya dari kampus murah yang merakyat menjadi kampus mahal yang eksklusif. Mungkin kata “penggusuran” sudah familiar di telinga kita, karena praktek-praktek kolonialisme ini telah menjadi budaya dari bangsa yang 350 tahun berjuang demi kemerdekaan melawan penjajah. Mulai dari pengusuran PKL, penggusuran pasar tradisional yang diganti Mall, dan akhirnya sampai juga penggusuran pedagang kecil dan kantin sederhana yang menjadi langganan mahasiswa di kampus hijau. Para pedagang dan pemilik kantin yang menyewa tanah milik negara memang tidak punya pilihan lain, pihak birokrasi telah menyiapkan gedung cafetaria yang megah dan mahal untuk disewakan yang berkisar 10-15 juta per-tahunnya. Kebijakan penggusuran ini pun harus terjadi, karena takut cafetaria kalah bersaing dan harus memonopoli usaha tersebut. Kebijakan ini pun melahirkan banyak pertanyaan yang cukup menggelitik di benak kita. Pertama, gedung cafetaria ternyata dibangun setengah jadi, padahal masuk dalam green design pembangunan kampus II UIN. Kedua kondisi tempat yang disewakan sangat sempit jika dibandingkan dengan mahalnya harga sewa dan jumlah konsumen. Ketiga, para pedagang dan pemilik kantin yang akan digusur selama ini telah telah membayar sewa dengan tertib dan cukup membantu mahasiswa akan tetapi mengapa tidak ada ganti rugi atau santunan dari pihak birokrasi. Akan tetapi, semua alibi pasti telah disiapkan untuk menjawab pertanyaan ini. Mungkin banyak dari kita tidak akan peduli dengan hal ini, akan tetapi kebijakan ini bukan hanya menyulitkan mereka yang akan digusur, tapi juga mahasiswa yang selama ini menjadi pelanggan setia dari kantin-kantin yang murah meriah. Sekali lagi harus ditegaskan, kita tidak harus merubuhkan cafetaria tapi, kita berjuang meruntuhkan wajah kapitalis yang mengajarkan kita menjadi kaum intelektual yang memiliki sikap individual dan bermental hedonis. Sepenggal kata yang saya kutip dari seorang pejuang, “lebih baik saya diasingkan daripada menyerah pada kemunafikkan” (Soe Hoek Gie).