Sabtu, 03 Desember 2011

Meng”Gusur” Harapan Menuju Kapitalis…?! Akhirnya, malapetaka yang ditakutkan itu akan menimpa para pedagang kecil dan pemilik kantin yang selama ini menyediakan makanan, minuman, dan berbagai kebutuhan yang murah meriah bagi mahasiswa. Hal ini dikarenakan kebijakan penggusuran lapak dan kantin pedagang kecil yang selama ini dianggab oleh pemangku jabatan mengganggu bahkan merusak pemandangan kampus yang katanya islam berlebel negeri tersebut. Sungguh ironis sekali, pedagang kecil dan pemilik kantin sederhana yang berjejer di pinggiran tanah milik negara ini dianggab benalu yang memalukan bagi kampus yang berambisi menjadi kampus modern bertaraf internasional. Inilah realitas yang memilukan di negeri pancasilais, dimana gedung-gedung megah nan mewah menjadi tolak ukur penilaian mutu dan kualitas pendidikan. Bahkan kita kehilangan jati diri sebagai pribumi dengan berkiblat pada corong kapitalis, walaupun harus berhutang untuk membangun fisik kampus dan mengubahnya dari kampus murah yang merakyat menjadi kampus mahal yang eksklusif. Mungkin kata “penggusuran” sudah familiar di telinga kita, karena praktek-praktek kolonialisme ini telah menjadi budaya dari bangsa yang 350 tahun berjuang demi kemerdekaan melawan penjajah. Mulai dari pengusuran PKL, penggusuran pasar tradisional yang diganti Mall, dan akhirnya sampai juga penggusuran pedagang kecil dan kantin sederhana yang menjadi langganan mahasiswa di kampus hijau. Para pedagang dan pemilik kantin yang menyewa tanah milik negara memang tidak punya pilihan lain, pihak birokrasi telah menyiapkan gedung cafetaria yang megah dan mahal untuk disewakan yang berkisar 10-15 juta per-tahunnya. Kebijakan penggusuran ini pun harus terjadi, karena takut cafetaria kalah bersaing dan harus memonopoli usaha tersebut. Kebijakan ini pun melahirkan banyak pertanyaan yang cukup menggelitik di benak kita. Pertama, gedung cafetaria ternyata dibangun setengah jadi, padahal masuk dalam green design pembangunan kampus II UIN. Kedua kondisi tempat yang disewakan sangat sempit jika dibandingkan dengan mahalnya harga sewa dan jumlah konsumen. Ketiga, para pedagang dan pemilik kantin yang akan digusur selama ini telah telah membayar sewa dengan tertib dan cukup membantu mahasiswa akan tetapi mengapa tidak ada ganti rugi atau santunan dari pihak birokrasi. Akan tetapi, semua alibi pasti telah disiapkan untuk menjawab pertanyaan ini. Mungkin banyak dari kita tidak akan peduli dengan hal ini, akan tetapi kebijakan ini bukan hanya menyulitkan mereka yang akan digusur, tapi juga mahasiswa yang selama ini menjadi pelanggan setia dari kantin-kantin yang murah meriah. Sekali lagi harus ditegaskan, kita tidak harus merubuhkan cafetaria tapi, kita berjuang meruntuhkan wajah kapitalis yang mengajarkan kita menjadi kaum intelektual yang memiliki sikap individual dan bermental hedonis. Sepenggal kata yang saya kutip dari seorang pejuang, “lebih baik saya diasingkan daripada menyerah pada kemunafikkan” (Soe Hoek Gie).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar