Sabtu, 03 Desember 2011
Politik …”Konyol”
Menuju Ambisi Kekuasaan
Gegap gempita reformasi yang telah melahirkan janin demokrasi ternyata mampu menghipnotis republik ini menuju kedalam lingkaran setan dan kebuntuan intelektual. Carut marut politik kekuasaan dan rusaknya tatanan hukum bangsa ini merupakan indikasi tak terbantahkan dari kegagalan sistem dan rezim yang berkuasa di negeri yang kaya akan suber daya alamnya. Terlebih lagi jika kegagapan menggunakan instrumen demokrasi masuk ke dunia pendidikan kita, sehingga “bola panas” demokrasi terjebak oleh intrik politik kekuasaan yang melenceng dari misi suci dimerdekakannya republik Indonesia ini. Dan kini bola panas tersebut telah memporak-porandakan semboyan “bhineka tunggal ika” yang selama ini menjadi tali pengikat republik ini, mulai dari ujung timur hingga ujung barat. Hasilnya, berbagai pesta demokrasi diwarnai chaotic (suasana kericuhan) dan konflik yang tiada akhir dipertontonkan oleh berbagai media masa secara fulgar sebagai komoditas bisnis di era kebebasan pers saat ini. Akhirnya budaya politik “konyol” ini menjadi doktrin bagi generasi muda bangsa ini, melalui basis-basis partai politik, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kepemudaan, bahkan sampai kepada organisasi kemahasiswaan (baik internal maupun eksternal).
Maka benarlah apa yang telah disampaikan oleh tokoh lintas agama beberapa waktu yang lalu, bahwa bangsa yang kita cintai ini berada di ambang kebangkrutan. Apalagi sikap para wakil rakyat kita di DPR tidak jauh berbeda dengan sikap kaum intelektual muda kita, yakni terjebak dalam mentalitas cengeng, hedonis, dan apatis. Semangat perjuangan ’45 dan reformasi hanya menjadi dongeng yang terbingkai rapi dalam lembaran sejarah republik. Sikap kritis dan idealis dianggab sebagai pengganggu yang harus disingkirkan dan dicap sebagai bentuk kejahatan. Struktur sosial masyarakat kita yang sangat rapuh dan tingkat kualitas sumber daya manusia yang tidak merata telah memperburuk keadaan bangsa kita.
Dengan alasan globalisasi, indonesia pun pelan tapi pasti masuk dalam pasar bebas dan ledakan liberalisasi ekonomi dunia. Langkah ini pun mengakibatkan berbagai aset publik dan kekayaan alam kita digadaikan kepada investor atau pemodal asing. Sedangkan, rakyat pribumi sendiri harus menjadi kuli devisa di negara lain dan hanya menjadi penonton di negeri sendiri. Realitas yang cukup ironis ini justru dibiarkan dengan sengaja oleh para pemimpin dan kaum intelektual muda kita. Krisis identitas dan pilihan politik yang konyol telah menggerus keyakinan serta keberanian pemimpin serta generasi muda bangsa ini untuk merubah nasib kaumnya. Proses regenerasi dan pengkaderan hanya digunakan sebagai alat politik untuk mengumpulkan basis masa sehingga dapat melanggengkan ambisi kekuasaan itu sendiri. Kondisi inilah yang memantapkan dominasi kapitalisme ke segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan cara mengubah wajah serta bentuknya. Akhirnya wajah-wajah kemunafikan tersebut telah berhasil mengkudeta kekuasan bangsa yang besar ini dari pemilik sejatinya, yakni rakyat indonesia dari sabang sampai merauke. Semoga, semua realitas memilukan ini dapat membangkitkan kesadaran rakyat pribumi untuk segera menciptakan momentum perlawanan dan perubahan. Karena potensi kerakyatan bangsa ini mampu melahirkan gerakan revolusi yang besar, sehingga mengembalikan segenap harapan dari misi suci kemerdekaan republik Indonesia yang kita cintai. Mungkin kutipan terakhir ini dapat mengingatkan kita semua, “lebih baik aku diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan (Soe Hoek Gie)”.
Perjangan Belum Usai…..
Revolusi Harga Mati!!!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar