BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 1 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
I. PENDAHULUAN
Puji syukur akhirnya UU Perbankan
Syariah yang merupakan inisiatif DPR
RI telah ditandatangani oleh
Presiden RI pada tanggal 16 Juli
2008, dengan nomor 21 Tahun
2008, setelah sebelumnya disahkan
dalam Rapat Paripurna DPR RI pada
tanggal 17 Juni 2008. Sebagaimana
diketahui kegiatan perbankan
syariah di Indonesia baru di mulai
sejak tahun 1992, dengan mulai
beroperasinya PT Bank Muamalat
Indonesia (yang didirikan pada tahun
1991 yang diprakarsai oleh Majelis
Ulama Indonesia dan Pemerintah).
Pengaturan mengenai perbankan
syariah pada waktu itu memang
masih sangat terbatas, dalam UU
No.7 Tahun 1992 tentang
Perbankan belum diatur secara tegas
mengenai perbankan syariah.
Dengan memperhatikan kebutuhan
pengaturan yang lebih jelas
mengenai perbankan syariah, maka
dalam amandemen UU Perbankan,
yaitu UU 10 Tahun 1998 tentang
perubahan UU No.7 Tahun 1992
tentang Perbankan, telah
diakomodir beberapa pengaturan
mengenai kegiatan perbankan
syariah, antara lain pengertian bank
mencakup bank syariah, pengertian
prinsip syariah, dan pembiayaan.
Setelah diakomodasinya Bank
Syariah pada Undang-Undang
Perbankan No. 10/1998, yang diikuti
dengan serangkaian langkah
kebijakan Bank Indonesia selaku
otoritas perbankan, baik dari segi
pengaturan, yaitu dengan
mengeluarkan berbagai peraturan
yang menyangkut perbankan
syariah, maupun dari sisi internal
Bank Indonesia yaitu dengan
membentuk direktorat tersendiri
yang menangani perbankan syariah,
membuka kemungkinan bank
konvensional untuk melakukan
kegiatan usaha syariah dengan
membentuk Unit Usaha Syariah
(UUS), maupun penyediaan sarana
pendukung, seperti Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia, perbankan
syariah telah menunjukkan
pertumbuhan yang berarti.
Walaupun dalam beberapa tahun
terakhir perbankan syariah
menunjukkan peningkatan dari segi
total aset yaitu dari Rp 20.880 miliar
pada Desember 2005 menjadi Rp
36.538 miliar pada Desember 2007
atau meningkat 74,9%,
penghimpunan dana meningkat
79,7% dari Rp 15.582 miliar pada
Desember 2005 menjadi Rp 28.012
miliar pada Desember 2007
pembiayaan meningkat 83,4%,
dari Rp 15.232 miliar pada
Desember 2005 menjadi Rp 27.944
SEKILAS ULASAN UU PERBANKAN SYARIAH
Oleh: Arief R. Permana, S.H., M.H.1 dan Anton Purba, S.H., LL.M2
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 2 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
miliar pada Desember 2007, namun
apabila ditinjau dari pangsa total
aset perbankan syariah
dibandingkan perbankan
konvensional masih relatif kecil,
yaitu baru mencapai 1,84% atau
Rp36.538 miliar dibanding
Rp1.986.501 miliar pada Desember
2007.
Terdapat pandangan bahwa belum
berkembang pesatnya perbankan
syariah di Indonesia, antara lain
disebabkan oleh :
a. Sumber Daya Manusia yang
kompeten dan profesional
masih belum optimal;
b. Pemahaman masyarakat
terhadap perbankan Syariah
belum merata;
c. Jaringan kantor pelayanan dan
keuangan Syariah masih relatif
terbatas;
d. Belum didukung dengan
peraturan yang memadai
(dalam bentuk Undang-Undang
tersendiri yang terpisah dari
Undang-Undang Perbankan
konvensional);
e. Sinkronisasi kebijakan dengan
institusi pemerintah lainnya
berkaitan dengan transaksi
keuangan, khususnya
perpajakan belum maksimal.
Bank Indonesia berupaya untuk
mengatasi kendala-kendala yang
dihadapi sebatas kewenangan yang
dimiliki, antara lain dalam mengatasi
keterbatasan jaringan kantor
pelayanan Bank Syariah, Bank
Indonesia telah mengeluarkan PBI
No.8/3/PBI/2006 tanggal 30 Januari
2006 yang membolehkan bank
konvensional yang memiliki Unit
Usaha Syariah untuk membuka
layanan syariah pada kantor cabang
kovensional bank dimaksud. Melalui
kebijakan tersebut diharapkan
masalah jaringan pelayanan dan
keuangan Bank Syariah dapat diatasi
karena masyarakat dapat dilayani
dimana saja saat membutuhkan
layanan Bank Syariah.
Selain itu, untuk lebih memberikan
pemahaman kepada masyarakat
pada umumnya, maupun akademisi
dan kalangan perbankan pada
khususnya, Bank Indonesia secara
berkesinambungan melakukan
sosialisasi mengenai perbankan
syariah. Upaya untuk mengatasi
berbagai kendala tersebut, tentunya
tidak dapat dilakukan hanya oleh
otoritas perbankan saja, tetapi harus
dilakukan secara bersama-sama
dengan Pemerintah maupun DPR,
serta dukungan masyarakat.
Melihat begitu besarnya dorongan
dan dukungan dari masyarakat agar
disusun UU Perbankan Syariah yang
terpisah dari UU Perbankan
konvensional, DPR RI mengajukan
inisiatif penyusunan RUU Perbankan
Syariah, dan selanjutnya mendapat
tanggapan positif dari Pemerintah
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 3 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
sehingga terbuka jalan untuk segera
menyelesaikan RUU Perbankan
Syariah, dan akhirnya setelah melalui
pembahasan intensif UU Perbankan
Syariah berhasil diselesaikan, dan
mulai diberlakukan per 16 Juli 2008,
menyusul telah diberlakukannya UU
No.19 Tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara pada 7 Mei
2008. Dukungan yang begitu besar
dari berbagai kalangan dapat dilihat
dari proses penyusunan dan
pembahasan Daftar Inventarisasi
Masalah RUU Perbankan Syariah
yang dapat diselesaikan dalam
waktu yang relatif singkat.
Dengan adanya dukungan
seperangkat aturan yang memadai
di bidang perbankan syariah, serta
semakin bertambahnya instrumen
keuangan syariah diharapkan akan
semakin menarik investor/pelaku
bisnis pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya,
sehingga perkembangan ekonomi
syariah di Indonesia dapat
berkembang lebih baik lagi.
Terlebih-lebih di Indonesia yang
penduduknya mayoritas muslim,
memiliki potensi yang sangat besar
untuk mendukung berkembangnya
kegiatan ekonomi berdasarkan
prinsip syariah, termasuk perbankan
syariah. Hal ini mengingat di negaranegara
yang mayoritas non muslim
saja, seperti di Inggris, Jerman,
Amerika Serikat, dan Singapura,
kegiatan perbankan syariah pada
khususnya dan ekonomi syariah
pada umumnya banyak diterapkan
dan berkembang cukup baik.
Dengan demikian adalah keliru
persepsi yang menganggap bahwa
Bank Syariah hanya diperuntukan
bagi penduduk yang muslim. Dalam
praktiknya Bank Syariah adalah
merupakan pilihan bagi masyarakat
dalam memilih layanan perbankan
dan tidak ada peraturan perundangundangan
yang membatasi
pelayanan Bank Syariah hanya untuk
penduduk yang beragama muslim
saja. Pada kenyataannya memang
terdapat banyak kalangan non
muslim yang menjadi nasabah Bank
Syariah.
II. MATERI UU PERBANKAN
SYARIAH
Dengan telah diberlakukannya UU
tentang Perbankan Syariah, maka
terdapat 2 (dua) UU yang mengatur
perbankan di Indonesia, yaitu UU
No.7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 10 Tahun
1998, dan UU No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
Walaupun telah terdapat 2 (dua) UU
yang masing-masing mengatur bank
berdasarkan prinsip syariah dan
bank konvensional, namun dalam
masa peralihan ini masih dikenal
Unit Usaha Syariah, yang membuka
kesempatan bagi bank konvensional
untuk melakukan kegiatan bank
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 4 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
berdasarkan prinsip syariah. Hal ini
menyebabkan bank konvensional di
satu sisi tunduk pada UU Perbankan
(bagi kantor bank yang beroperasi
secara konvensional), dan di sisi lain
tunduk pada UU Perbankan Syariah
(bagi UUS dan KC Syariah dari bank
konvensional dimaksud).
Pada umumnya sistematika
pengaturan UU Perbankan Syariah
sama dengan UU Perbankan, yaitu
antara lain meliputi azas, tujuan dan
fungsi; perizinan, bentuk badan
hukum; jenis dan kegiatan usaha;
rahasia bank; pembinaan dan
pengawasan; dengan beberapa
perbedaan prinsip di dalamnya
khususnya yang menyangkut aspek
syariah, di samping itu terdapat
beberapa pengaturan baru yaitu
mengenai tata kelola, prinsip kehatihatian,
dan pengelolaan risiko;
penyelesaian sengketa; Komite
Perbankan Syariah; self liquidation,
serta perluasan kewenangan
pengawasan Bank Indonesia,
dengan ulasan singkat sebagai
berikut:
Asas, Tujuan dan Fungsi
Perbankan Syariah dalam melakukan
kegiatan usahanya berasaskan
Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi,
dan prinsip kehati-hatian (Pasal 2).
Berbeda dengan UU Perbankan,
pengaturan yang menyangkut asas
ini, lebih menekankan pada frasa
“berasaskan Prinsip Syariah”. Hal
tersebut sesuai dengan karakteristik
dari perbankan syariah. Adapun
yang dimaksud dengan Prinsip
Syariah dalam hal ini adalah prinsip
hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang
memiliki kewenangan dalam
penetapan fatwa di bidang syariah
(Pasal 1 angka 12), dan lembaga
yang memiliki kewenangan tersebut
adalah Majelis Ulama Indonesia yang
berdiri pada tanggal 26 Juli 1975 di
Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan
atau musyawarah para ulama,
cendekiawan dan zu’ama yang
datang dari berbagai penjuru tanah
air.
Jika UU Perbankan konvensional
tujuannya lebih ditekankan untuk
meningkatkan pemerataan,
pertumbuhan ekonomi, dan
stabilitas nasional, maka dalam UU
Perbankan Syariah tujuannya lebih
ditekankan untuk meningkatkan
keadilan, kebersamaan, dan
pemerataan kesejahteraan rakyat.
Hal ini sesuai dengan prinsip
ekonomi syariah yang menekankan
pada aspek kesatuan (unity),
keseimbangan (equilibrium),
kebebasan (free will), dan tanggung
jawab (responsibility).
Sama halnya dengan bank
(konvensional), fungsi pokok bank
syariah adalah menghimpun dan
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 5 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
menyalurkan dana masyarakat atau
melaksanakan fungsi intermediasi.
Di samping fungsi tersebut, bank
syariah (dan UUS) mempunyai
kekhususan, yaitu dapat
menjalankan fungsi sosial dalam
bentuk lembaga baitul mal, yaitu
menerima dana yang berasal dari
zakat, infak, sedekah, hibah atau
dana sosial lainnya dan
menyalurkannya kepada organisasi
pengelola zakat. Selain itu juga
dapat menghimpun dana sosial yang
berasal dari wakaf uang dan
menyalurkannya kepada pengelola
wakaf (nazhir) sesuai kehendak
pemberi wakaf (wakif).
Perizinan dan bentuk badan
hukum
Untuk dapat melakukan kegiatan
usaha sebagai bank tentunya harus
memperoleh izin terlebih dahulu dari
otoritas yang berwenang, dalam hal
ini Bank Indonesia. Berkaitan dengan
hal tersebut, terdapat 2 (dua) rezim
pengaturan yang menyangkut
perizinan bank, yaitu yang diatur
dalam bab mengenai perizinan, yang
berlaku bagi setiap pihak yang
melakukan kegiatan usaha Bank
Syariah atau UUS wajib terlebih
dahulu memperoleh izin usaha dari
Bank Indonesia (Pasal 5), dan dalam
bab mengenai kegiatan usaha, yang
berlaku bagi pihak yang melakukan
kegiatan penghimpunan dana dalam
bentuk simpanan atau investasi
(Pasal 22). Pengaturan mengenai
perizinan atas kegiatan
penghimpunan dana masyarakat
lebih dimaksudkan untuk mencegah
penghimpunan dana tanpa izin
(umumnya disebut sebagai “bank
gelap”), kecuali kegiatan
penghimpunan dana tersebut diatur
dengan UU tersendiri, seperti UU
Asuransi, UU Koperasi, dan UU Dana
Pensiun. Hal tersebut menunjukkan
bahwa pembentuk Undang-Undang
menyadari betapa pentingnya UU
memberikan perlindungan terhadap
kegiatan penghimpunan dana
masyarakat yang dimaksudkan
untuk melindungi kepentingan
masyarakat yang memiliki dana. Hal
tersebut juga dimaksudkan untuk
menjaga kepercayaan masyarakat
terhadap lembaga perbankan
sebagai lembaga yang didasarkan
pada asas kepercayaan. Atas
pelanggaran kedua ketentuan
tersebut diancam dengan sanksi
yang sama, yang diatur dalam Pasal
59. Sementara dalam UU Perbankan
konvensional materi yang
menyangkut izin usaha bank hanya
berkaitan dengan penghimpunan
dana (Pasal 16).
Berbeda halnya dengan bentuk
badan hukum bank yang selama ini
dikenal (berdasarkan UU Perbankan
konvensional) yaitu berupa PT,
Koperasi, atau Perusahaan Daerah,
dalam UU Perbankan Syariah hanya
mengenal bentuk badan hukum
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 6 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
Perseroan Terbatas (Pasal 7). Dalam
hal ini, badan hukum PT bank
tersebut selain tunduk pada aturan
dalam UU No.40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, juga
tunduk pada UU Perbankan Syariah,
hal ini sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 4 UU PT yang
menegaskan bahwa terhadap
perseroan berlaku UU Perseroan
Terbatas, anggaran dasar perseroan,
dan ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya,
termasuk peraturan perbankan.
Dengan bentuk badan hukum
berupa PT, diharapkan Bank Syariah
dapat lebih mudah dalam memenuhi
ketentuan di bidang perbankan,
antara lain dalam hal penambahan
modal mengingat dalam perseroan
terbatas dikenal prinsip one share
one vote, sehingga lebih mudah
dalam mengambil keputusan
dibandingkan dengan badan hukum
lain, misalnya koperasi yang
menganut prinsip one man one
vote. Selain itu, penyelenggaraan
Rapat Umum Pemegang Saham juga
relatif lebih gampang dibandingkan
penyelenggaraan Rapat Anggota
pada koperasi.
Jenis dan Kegiatan Usaha
Pembagian jenis bank dalam
perbankan syariah dibedakan
menjadi bank umum dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS),
dengan perbedaan pokok BPRS
dilarang menerima simpanan berupa
giro dan ikut serta dalam lalu lintas
pembayaran. Pembagian jenis bank
tersebut pada prinsipnya sama
dengan perbankan konvensional.
Kegiatan usaha perbankan syariah,
khususnya menyangkut produk dan
jasa yang ditawarkan, pada
prinsipnya memiliki cakupan yang
relatif lebih luas (bersifat universal
banking) dibandingkan dengan yang
ditawarkan perbankan konvensional,
karena selain melakukan kegiatan
usaha seperti halnya bank
konvensional, bank syariah juga
menawarkan jasa yang umumnya
dijalankan oleh lembaga
pembiayaan, seperti jasa leasing,
serta pembiayaan bagi hasil yang
umumnya ditawarkan oleh lembaga
investasi, semacam modal ventura.
Kegiatan usaha perbankan syariah,
produk, serta jasanya wajib tunduk
pada Prinsip Syariah, dalam hal ini
fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis
Ulama Indonesia. Fatwa dimaksud
diimplementasikan menjadi
ketentuan perbankan melalui
Peraturan Bank Indonesia. Fatwa
dimaksud perlu diimplementasikan
melalui PBI mengingat fatwa yang
dikeluarkan oleh MUI bersifat umum
(misalnya menyangkut transaksi
keuangan), sehingga perlu
diterjemahkan kedalam peraturan
yang bersifat khusus (perbankan).
Dalam rangka penyusunan PBI
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 7 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
dimaksud, UU mengamanatkan
Bank Indonesia untuk membentuk
Komite Perbankan Syariah yang
anggotanya berasal dari Bank
Indonesia, Departemen Agama, dan
masyarakat, yang memiliki keahlian
di bidang syariah. Jumlahnya paling
banyak 11 (sebelas) orang dengan
komposisi yang seimbang.
Pemilik dan Pengurus Bank
UU Perbankan Syariah menegaskan
bahwa ketentuan mengenai syarat,
jumlah, tugas, kewenangan,
tanggung jawab, serta hal lain yang
menyangkut dewan komisaris dan
direksi Bank Syariah diatur dalam
anggaran dasar Bank Syariah (pasal
28). Selanjutnya ditegaskan bahwa
salah satu dari jajaran direksi
tersebut berperan sebagai direktur
yang bertugas untuk memastikan
kepatuhan Bank Syariah terhadap
pelaksanaan ketentuan Bank
Indonesia dan peraturan perundangundangan
lainnya.
Demikian pentingnya sumber daya
manusia di bidang perbankan, UU
ini juga mengatur mengenai uji
kemampuan dan kepatutan bagi
pengurus bank (Pasal 30), dan
pemegang saham pengendali (Pasal
27). Pengaturan tersebut diperlukan
mengingat perbankan sebagai
lembaga kepercayaan masyarakat
perlu dikelola oleh pengurus yang
mempunyai
kemampuan/kompetensi dan
kepatutan/integritas, serta dimiliki
oleh pemegang saham yang
mempunyai
kemampuan/kompetensi dan
kepatutan/integritas. Dengan
demikian tidak setiap orang dapat
menjadi pengurus atau pemilik
bank, hanya mereka yang telah lulus
uji kemampuan dan kepatutanlah
yang berhak.
Di samping Dewan Komisaris dan
Direksi, UU ini juga mewajibkan
dibentuknya Dewan Pengawas
Syariah di setiap Bank Syariah dan
Bank Umum konvensional yang
memiliki UUS, dengan tugas antara
lain memberikan nasihat dan saran
kepada direksi serta mengawasi
kegiatan bank agar sesuai dengan
prinsip syariah (pasal 32). Dewan
Pengawas Syariah tersebut diangkat
oleh Rapat Umum Pemegang Saham
atas rekomendasi Majelis Ulama
Indonesia.
Rahasia Bank
Rahasia bank merupakan hal
penting dalam dunia perbankan,
dan berlaku umum di seluruh
negara. Pengaturan mengenai
rahasia bank pada umumnya sama
dengan UU Perbankan konvensional,
yang wajib dirahasiakan adalah
segala sesuatu yang berhubungan
dengan keterangan mengenai
nasabah dan simpanannya,
kewajiban tersebut berlaku bagi
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 8 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
bank dan pihak terafiliasi. Beberapa
pengaturan mengenai rahasia bank
dalam UU Perbankan Syariah yang
agak berlainan dengan UU
Perbankan konvensional, antara lain:
1) Tidak diaturnya pengecualian
rahasia bank untuk kepentingan
piutang yang sudah diserahkan
kepada BUPLN/PUPN, seperti
halnya yang diatur dalam UU
Perbankan konvensional. Dengan
demikian pengecualian rahasia
bank yang dapat dimintakan
izinnya ke BI terbatas hanya
untuk kepentingan perpajakan,
dan kepentingan peradilan
dalam perkara pidana. Di
samping itu terdapat
pengecualian lainnya yang tidak
memerlukan izin dari BI, yaitu
dalam perkara perdata antara
bank dengan nasabahnya, dalam
rangka tukar menukar informasi
antar bank, dan atas permintaan,
persetujuan atau kuasa dari
nasabah, serta bagi ahli waris
yang sah dalam hal nasabah
telah meninggal dunia.
2) Pengaturan mengenai penyidik
diperluas, tidak hanya terbatas
pada jaksa atau polisi, tetapi
berlaku juga bagi penyidik lain
yang diberi wewenang
berdasarkan UU (Pasal 43).
Dengan demikian para penyidik
di luar polisi atau jaksa dapat
meminta keterangan mengenai
rahasia bank, namun permintaan
tersebut tetap diajukan oleh
pimpinan instansi/departemen
atau setingkat menteri. Hal
tersebut menunjukkan sikap
masih dipertahankannya sifat
kerahasiaan bank, walaupun
diperluas kepada penyidik diluar
polisi atau jaksa, tetapi hanya
tingkat pimpinan
instansi/departemen yang dapat
mengajukan permintaan izin
dimaksud.
Pembinaan dan Pengawasan
Bank
Bank merupakan suatu lembaga
kepercayaan yang dalam melakukan
kegiatan usahanya sebagian besar
menggunakan dana masyarakat
Oleh karena itu untuk menjaga
kelangsungan usahanya, dan
menjamin kestabilan sistem
perbankan secara keseluruhan,
maka terhadap lembaga perbankan
perlu dilakukan pengawasan oleh
otoritas perbankan yaitu Bank
Indonesia. Pengaturan mengenai
pembinaan dan pengawasan bank
secara umum hampir sama dengan
UU Perbankan konvensional, antara
lain menyangkut kewajiban bank
untuk memelihara tingkat
kesehatan, kewajiban untuk
menyampaikan segala keterangan
mengenai usahanya kepada Bank
Indonesia, dan kewajiban untuk
memberikan kesempatan bagi
pemeriksaan buku-buku dan berkasBULETIN
HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 9 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
berkas atas permintaan Bank
Indonesia. Di samping itu diatur pula
penugasan kepada kantor akuntan
publik atau pihak lain untuk
melakukan pemeriksaan, serta
beberapa kewenangan Bank
Indonesia untuk melakukan tindakan
dalam rangka tindak lanjut
pengawasan. Pengaturan yang
relatif baru adalah pemberian
kewenangan kepada Bank Indonesia
dalam rangka melaksanakan tugas
pengawasan bank (pasal 52 ayat
(3)), yaitu kewenangan untuk:
- Memeriksa dan mengambil
data/dokumen dari setiap tempat
yang terkait dengan bank;
- Memeriksa dan mengambil
data/dokumen dan keterangan
dari setiap pihak yang menurut
penilaian BI memiliki pengaruh
terhadap bank;
- Memerintahkan bank melakukan
pemblokiran rekening tertentu.
Pengaturan yang relatif baru lainnya
adalah mengenai pencabutan izin
usaha bank atas permintaan sendiri
(self liquidation). Dalam rangka
mengantisipasi adanya permintaan
pencabutan izin usaha bank atas
permohonan pemegang saham,
telah diakomodir pasal yang
mengatur mengenai hal tersebut
sebagai payung hukum (Pasal 54
ayat (4)). Ketentuan seperti ini belum
diatur dalam UU Perbankan
konvensional. Pengaturan mengenai
pencabutan izin usaha atas
permintaan sendiri sejalan dengan
UU LPS yang membuka
kemungkinan pencabutan izin usaha
atas permintaan pemegang saham.
Dalam hal ini LPS tidak membayar
klaim penjaminan nasabah
penyimpan, karena penyelesaian
seluruh kewajiban bank merupakan
tanggung jawab bank yang
bersangkutan. Oleh karena itu,
pengajuan pencabutan izin usaha
atas permintaan sendiri hanya dapat
diajukan bank kepada Bank
Indonesia setelah bank dimaksud
menyelesaikan seluruh kewajibannya
kepada nasabahnya.
Penyelesaian Sengketa
Hubungan bank dengan nasabah
pada umumnya merupakan
hubungan keperdataan. Jalinan
hubungan tersebut, dalam
praktiknya tidak selalu berjalan
mulus, bisa saja timbul
ketidaksepahaman atau sengketa
diantara keduanya. Dalam hal terjadi
sengketa yang menyangkut
perbankan syariah, maka
penyelesaian sengketa tersebut pada
prinsipnya dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama (Pasal 55), namun
apabila para pihak telah
memperjanjikan lain, penyelesaian
sengketa dilakukan sesuai dengan isi
perjanjian. Dengan demikian
sengketa perbankan syariah selain
penyelesaiannya dapat dilakukan
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 10 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
melalui Peradilan Agama (sesuai UU
No.3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas UU No.7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama),
bisa juga memilih penyelesaian
sengketa melalui musyawarah,
mediasi perbankan, Basyarnas, atau
peradilan umum. Namun, Undang-
Undang mensyaratkan bahwa
penyelesaian sengketa di luar
Peradilan Agaman tetap harus
dilakukan dengan berpedoman pada
Prinsip Syariah.
Sanksi
Pengaturan sanksi dibedakan antara
sanksi administratif dan sanksi
pidana, dengan pola pengaturan
umumnya hampir sama dengan UU
Perbankan (konvensional).
Pengaturan sanksi yang relatif baru
(Pasal 66) dalam hal ini adalah sanksi
pidana bagi direksi atau pegawai
Bank Syariah atau UUS yang dengan
sengaja:
Melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan UU ini dan
perbuatan tersebut telah
mengakibatkan kerugian bagi
bank;
Menghalangi pemeriksaan atau
tidak membantu pemeriksaan
yang dilakukan oleh dewan
komisaris atau kantor akuntan
publik;
Memberikan penyaluran dana
atau fasilitas penjaminan dengan
melanggar ketentuan yang
berlaku;
Tidak melakukan langkahlangkah
yang diperlukan untuk
memastikan ketaatan bank
terhadap ketentuan Batas
Maksimum Pemberian
Penyaluran Dana;
diancam dengan pidana penjara 1
tahun - 5 tahun, dan pidana denda
antara Rp1 miliar - Rp5 miliar.
Pengaturan mengenai pemidanaan
atau kriminalisasi terhadap
pelanggaran Batas Maksimum
Pemberian Penyaluran Dana
(BMPPD) tidak dikenakan secara
langsung, sama seperti halnya dalam
perbankan konvensional yang
menerapkan Pasal 49 ayat (2) untuk
menjaring pelanggaran BMPK, yaitu
apabila bank tidak melakukan
langkah-langkah yang diperlukan
untuk memastikan ketaatan bank
terhadap ketentuan dalam UU
Perbankan, dan ketentuan
perundang-undangan lainnya yang
berlaku bagi bank. Dengan demikian
diberikan kesempatan bagi bank
untuk melakukan perbaikan/koreksi
atas pelanggaran BMPK, hal ini
mengingat terjadinya pelanggaran
BMPK tidak selalu diketahui secara
langsung pada saat pemberian
kredit, tetapi bisa saja baru diketahui
di kemudian hari.
Adanya pengaturan sanksi tersebut
diharapkan dapat lebih
mempertegas ancaman terhadap
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 11 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
norma-norma yang telah ditetapkan,
yang seharusnya dipatuhi oleh
direksi maupun pegawai bank.
Ketentuan Peralihan
Dalam Aturan Peralihan telah diatur
mengenai batasan UUS beralih
menjadi Bank Umum Syariah,
mengingat UUS hanya bersifat
sementara, yaitu :
(1) Dalam hal Bank Umum
Konvensional memiliki UUS yang
nilai asetnya telah mencapai
paling sedikit 50% (lima puluh
persen) dari total nilai aset bank
induknya, maka Bank Umum
Konvensional dimaksud wajib
melakukan Pemisahan UUS
tersebut menjadi Bank Umum
Syariah; atau
(2) 15 (lima belas) tahun sejak
berlakunya Undang-Undang
Perbankan Syariah, maka Bank
Umum Konvensional yang
memiliki UUS wajib melakukan
Pemisahan UUS yang dimilikinya
menjadi Bank Umum Syariah.
Semangat dari pengaturan tersebut
adalah untuk menciptakan
perbankan syariah yang murni di
masa depan, sehingga kelak tidak
dikenal lagi sistem campuran antara
bank syariah dengan bank
konvensional. Pengaturan lebih
lanjut mengenai peralihan tersebut
akan diatur dalam PBI. Guna
mendukung efektivitas pengaturan
tersebut, maka dalam PBI mengenai
hal tersebut perlu dibuat secara
tegas pengaturan persyaratan dan
tata cara peralihan dari UUS menjadi
Bank Umum Syariah, serta sanksi
bagi yang melanggar, di samping itu
hal terpenting adalah penegakan
hukum atas aturan tersebut.
PENUTUP
1. Dengan telah disahkannya RUU
Perbankan Syariah menjadi UU,
maka amanat UU tentang + 25
pengaturan lebih lanjut dalam
PBI perlu segera disiapkan
penyusunannya, termasuk di
dalamnya penyesuaian beberapa
PBI yang berlaku saat ini dengan
materi UU Perbankan Syariah.
2. Untuk lebih memberikan
pemahaman yang memadai
kepada perbankan dan
masyarakat umum sebagai
pengguna, maka sosialisasi UU
Perbankan Syariah dan peraturan
pelaksanaannya perlu dilakukan
secara efektif, baik melalui
seminar/ lokakarya maupun
melalui media masa.
3. Dengan telah diberlakukannya
UU Perbankan Syariah yang
merupakan landasan hukum bagi
kegiatan perbankan syariah di
Indonesia, maka diharapkan
dapat mendorong
perkembangan perbankan
syariah, khususnya dalam
peningkatan pelayanan
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 12 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
perbankan baik dari sisi jumlah
bank maupun jaringan
pelayanan, sehingga peranan
perbankan syariah sebagai salah
satu pilihan di samping
perbankan konvensional, dapat
meningkat dengan pangsa yang
cukup signifikan dibanding
perbankan konvensional.
4. Dengan terdapatnya beberapa
perbedaan pengaturan antara
perbankan syariah dengan
perbankan konvensional, maka
UU Perbankan konvensional
perlu dilakukan perubahan, agar
tidak menimbulkan kerancuan
dalam pelaksanaannya.
Berikut ini adalah versi HTML dari berkas http://legislasi.mahkamahagung.go.id/docs/PERPU/PERPU_1960_23_RAHASIA%20BANK.pdf.
G o o g l e membuat versi HTML dari dokumen tersebut secara otomatis pada saat menelusuri web.Page 1
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
NOMOR 23 TAHUN 1960
TENTANG
RAHASIA BANK
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a.
bahwa untuk kepentingan pembiayaan usaha-usaha pembangunan perlu diusahakan agar
uang kelebihan yang ada dalam masyarakat sebanyak mungkin dapat dipergunakan untuk
tujuan-tujuan produktif;
b.
bahwa untuk itu perlu diciptakan iklim yang baik bagi perkembangan perbankan yang
sehat dimana bank-bank mendapat kesempatan untuk menjalankan tugasnya sebagai
organisasi lalu-lintas uang dan modal dengan sebaik-baiknya;
c.
bahwa berhubung dengan itu perlu diadakan ketentuan-ketentuan mengenai rahasia
bank;
d.
bahwa karena keadaan memaksa soal tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang.
Mengingat:
1.
Pasal 22 ayat (1) Undang-undang Dasar;
2.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 10 tahun 1960.
Mendengar:
Musyawarah Kabinet Kerja pada tanggal 3 Mei 1960.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG
RAHASIA BANK
Pasal 1
Dengan bank dimaksudkan badan-badan kredit yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 1
tahun 1955 (Lembaran Negara 1955 No. 2, Tambahan Lembaran Negara No. 746) tentang
pengawasan terhadap urusan kredit.
Pasal 2
Bank tidak boleh memberikan keterangan-keterangan tentang keadaan keuangan langganannya
yang tercatat padanya dan hal-hal lain yang harus dirahasiakan oleh bank menurut. kelaziman
dalam dunia perbankan, kecuali dalam hal yang ditentukan pada pasal 3 Peraturan ini.Page 2
Pasal 3
(1)
Menteri Keuangan atas permintaan tertulis dari Kepala Jawatan Pajak berwenang untuk
memerintahkan kepada bank, supaya memberikan keterangan-keterangan dan
memperlihatkan buku-buku, bukti-bukti tertulis atau surat-surat kepada pejabat pajak
sebagai dimaksud dalam pasal 22 Ordonnansi Pajak Pendapatan 1944, pasal 54a
Ordonansi Pajak Kekayaan 1932, pasal 43a Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan pasal
16 Peraturan Pajak Dividen 1959.
Permintaan tertulis tersebut di atas harus menyebutkan wajib pajak yang dikehendaki
keterangannya.
(2)
Untuk kepentingan peradilan dalam perkara tindak pidana Menteri Pertama dapat
memberi izin kepada Jaksa/Hakim untuk meminta pada Bank keterangan tentang
keadaan keuangan tersangka/terdakwa.
Izin itu diberikan secara tertulis atas permintaan Jaksa Agung apabila yang memerlukan
keterangan adalah Jaksa dan atas permintaan Ketua Mahkamah Agung apabila Hakim
yang memerlukan keterangan-keterangan itu.
Apabila yang memerlukan keterangan adalah Jaksa, maka harus disebutkan nama
tersangka sebab-sebab keterangan diminta dan hubungan antara perkara pidana yang
bersangkutan dengan keterangan-keterangan yang diminta.
Pasal 4
Hal-hal yang belum diatur atau yang perlu diatur guna pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Pasal 5
Semua Undang-undang atau peraturan-peraturan yang bertentangan dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang ini tidak berlaku.
Pasal 6
(1)
Barangsiapa bertentangan dengan peraturan ini memaksa bank untuk memberikan
keterangan-keterangan sebagaimana termaksud pada pasal 2 Peraturan ini, dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun atau denda setinggi-tingginya dua
ratus lima puluh ribu rupiah.
(2)
Anggota Direksi atau pegawai bank yang memberikan keterangan-keterangan tentang
hal-hal yang harus dirahasiakan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu
tahun atau denda setinggi-tingginya dua ratus lima puluh ribu rupiah.
(3)
Anggota Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan-
keterangan yang wajib diberinya menurut pasal 3 peraturan ini, dihukum dan hukuman
penjara selama-lamanya enam bulan atau denda setinggi-tingginya dua ratus lima puluh
ribu rupiah.
(4)
Tindak pidana tersebut pada pasal ini dianggap sebagai kejahatan.
Pasal 7
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dapat dinamakan "Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang tentang Rahasia Bank" dan mulai berlaku pada hari diundangkan.Page 3
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 9 Juni 1960
PEJABAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
DJUANDA
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 9 Juni 1960
MENTERI KEHAKIMAN,
Ttd.
SAHARDJO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1960 NOMOR 71Page 4
PENJELASAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
NOMOR 23 TAHUN 1960
TENTANG
RAHASIA BANK
UMUM
Rahasia bank di negara-negara liberal dianggap sebagai suatu kelaziman dan berpokok pangkal
pada pengertian bahwa hak milik perseorangan harus mendapat perlindungan yang sempurna.
Dengan pokok pikiran demikian itu maka hak milik seseorang harus dihormati sepenuhnya
oleh siapapun juga, juga oleh Negara.
Akan tetapi sejak akhir abad 19 dan lebih-lebih dalam abad 20 ini terjadi banyak perubahan
terhadap alam pikiran yang sangat liberal itu. Faham bahwa hak milik seseorang harus
dipertahankan secara mutlak, dilepaskan dan untuk kepentingan umum atau kepentingan
Negara, hak milik perseorangan itu dapat dibatasi. Maka juga rahasia bank yang mula-mula
dipertahankan secara mutlak, kemudian jika kepentingan Negara menghendaki, terpaksa
dilepaskan. Hal ini nampak misalnya untuk keperluan penetapan pajak.
Yang dimaksudkan dengan rahasia bank adalah segala sesuatu berhubung dengan langganan
bank yang perlu dirahasiakan.
Ini adalah untuk kepentingan bank sendiri yang memerlukan kepercayaan dari masyarakat yang
menaruh uangnya di bank. Orang-orang hanya akan mempercayakan uangnya pada bankPage 5
apabila dari bank ada jaminan bahwa pengetahuan bank tentang simpanan-simpanan yang ada
di bawah penguasaannya tidak akan disalahgunakan.
Oleh karena pengertian tentang rahasia bank itu pada hakekatnya ditentukan oleh kebiasaan
yang hidup dalam kalangan perbankan yang dianggap sebagai conditio sine qua non bagi
perkembangan yang sehat dari perbankan, maka tak perlulah ditegaskan secara terperinci apa
yang dimaksudkan dengan rahasia bank tersebut. Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang ini diberi ketegasan bahwa bank harus memegang teguh rahasia bank.
Walaupun demikian, untuk kepentingan umum dan Negara terutama untuk keperluan
penetapan pajak dapat diadakan pengecualian terhadap ketentuan tersebut, hal mana
ditegaskan pada pasal 3.
Oleh sebab itu perlu diadakan penertiban sekitar rahasia bank, terutama terhadap tindakan-
tindakan petugas-petugas Negara yang menyampingkan rahasia bank agar orang-orang
menyimpan uangnya di bank tidak kuatir, bahwa simpanannya di bank itu akan disalahgunakan
oleh fihak ketiga. Dengan adanya ketentuan dan penertiban sekitar rahasia bank itu mudah-
mudahan masyarakat akan merasa lebih lega akan bertambah banyak jaminan hukumnya untuk
menyimpan uangnya di bank tanpa batas, hal mana akan menimbulkan iklim baru untuk
memberi pengaruh baik terhadap perkembangan ekonomi dan moneter pada umumnya.
Berhubung keadaan memaksa maka tentang penertiban sekitar rahasia bank tersebut diatur
dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Dengan langganan bank dimaksudkan orang-orang yang mempercayakan uangnya pada bank,
umpamanya mempunyai rekening pada bank, ataupun mengirim uang dengan perantaraan
bank, menerima cek, bunga dari bank, dan lain sebagainya, pendeknya semua orang yang
menerima, membayar atau menitipkan uangnya pada bank sebagai akibat dari pelaksanaan
tugas sehari-hari dari bank. Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan agar orang-orang yang
menyimpan uangnya pada bank tidak usah kuatir bahwa tentang rekening banknya akan
disalahgunakan.
Dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini Pemerintah tidak bermaksud
menghentikan berlakunya Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1955 (Lembaran Negara 1955
No. 2, Tambahan Lembaran Negara No. 746) tentang pengawasan terhadap urusan kredit.
Di dalam peraturan itu diantaranya disebut bahwa kepada Bank Indonesia atas nama Dewan
Moneter diberi kuasa guna kepentingan solvavilitet dan likwiditet, untuk melakukan
pengawasan terhadap badan-badan kredit sebagaimana disebut pada pasal 5 dan pasal 6
Peraturan Pemerintah tersebut.
Pasal 3
Sudah selayaknya bahwa untuk keperluan penetapan pajak bank wajib memberi keterangan-
keterangan pula kepada pejabat dari Jawatan Pajak dengan izin dari Menteri Keuangan, asal
dimuat nama wajib pajak yang dikehendaki keterangannya.Page 6
Demikian pula adalah selayaknya apabila untuk keperluan peradilan bank dapat diwajibkan
memberi keterangan-keterangan kepada Hakim/Jaksa dengan izin dari Menteri Pertama,
dengan pengertian bahwa Jaksa yang memerlukan keterangan itu harus menyebutkan nama
tersangka, sebab-sebab keterangan itu diminta dan hubungan antara perkara pidana yang
bersangkutan dengan keterangan-keterangan yang diminta.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Pasal ini memberi ketegasan bahwa ketentuan-ketentuan dalam segala peraturan Negara,
diantaranya juga dalam Hukum Acara Pidana, tidak berlaku, jikalau bertentangan dengan
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2010
1
RAHASIA BANK:
BERBAGAI MASALAH DISEKITARNYA∗
Oleh:
Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H.**
I. PENDAHULUAN
Bank adalah bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran suatu negara.
Bahkan pada era globalisasi sekarang ini, bank juga telah menjadi bagian dari sistem
keuangan dan sistem pembayaran dunia. Mengingat hal yang demikian itu, maka begitu
suatu bank telah memperoleh izin berdiri dan beroperasi dari otoritas moneter dari negara
yang bersangkutan, bank tersebut menjadi "milik" masyarakat. Oleh karena itu
eksistensinya bukan saja hanya harus dijaga oleh para pemilik bank itu sendiri dan
pengurusnya, tetapi juga oleh masyarakat nasional dan global.
Kepentingan masyarakat untuk menjaga eksistensi suatu bank menjadi sangat
penting, lebih-lebih bila diingat bahwa ambruknya suatu bank akan mempunyai akibat
rantai atau domino effect, yaitu menular kepada bank-bank yang lain, yang pada
gilirannya tidak mustahil dapat sangat mengganggu fungsi sistem keuangan dan sistem
pembayaran dari negara yang bersangkutan. Hal ini adalah seperti yang pernah terjadi di
tahun 1929-1933 ketika kurang lebih 9000 bank di Amerika Serikat, atau kurang lebih
setengah dari jumlah bank yang ada pada waktu itu gulung tikar.
Bank adalah suatu lembaga keuangan yang eksistensinya tergantung mutlak pada
∗ ) Makalah ini disajikan sebagai bahan diskusi mengenai legal isues seputar Pengaturan Rahasia Bank
bertempat di Bank Indonesia, Jl. MH Thamrin No. 2, Jakarta. Senin 13 Juni 2005
** ) penulis adalah Guru Besar Hukum Perbankan pada Universitas Airlangga, Universitas Indonesia,
Universitas Surabaya, dan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, Guru Besar Hukum Kepailitan
pada Magister Kenotariatan Universitas Padjadjaran, Guru Besar Hukum Pidana dalam mata kuliah
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Program Magister Hukum Khusus bagi Kejaksaan, dan pada
Program Magister Hukum Sekolah Tinggi Hukum Militer, mantan Direktur PT. Bank Negara Indonesia
(Persero), Anggota Tim Fit & Proper Test untuk Perbankan pada Bank Indonesia, Anggota Tim Pakar
Hukum Dep-Keh & HAM, Konsultan Ahli Badan Pembinaan Hukum Nasional, Anggota Sub-Komisi E
Komisi Hukum Nasional, Arbiter Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Pasar
Modal Indonesia (BAPMI), President Director dari Business Reform & Reconstruction Corporation
(BRRC) dan Chairman dari Law Offices Of Remy & Darus, Bendahara Pengurus Asean Law Association
(ALA) Indonesia.
2
kepercayaan dari para nasabahnya yang mempercayakan dana simpanan mereka pada
bank. Oleh karena itu bank sangat berkepentingan agar kadar kepercayaan masyarakat,
yang telah maupun yang akan menyimpan dananya, terpelihara dengan baik dalam
tingkat yang tinggi. Mengingat bank adalah bagian dari sistem keuangan dan sistem
pembayaran, yang masyarakat luas berkepentingan atas kesehatan dari sistem-sistem
tersebut, sedangkan kepercayaan masyarakat kepada bank merupakan unsur paling pokok
dari eksistensi suatu bank, maka terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada
perbankan adalah juga kepentingan masyarakat banyak.
Ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap suatu bank. Faktor-faktor tersebut adalah:
o Integritas pengurus
o Pengetahuan dan Kemampuan pengurus baik berupa pengetahuan kemampuan
manajerial maupun pengetahuan dan kemampuan teknis perbankan
o Kesehatan bank yang bersangkutan
o Kepatuhan bank terhadap kewajiban rahasia bank.
Sebagaimana dikemukakan di atas, salah satu faktor untuk dapat memelihara dan
meningkatkan kadar kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank pada khususnya dan
perbankan pada umumnya ialah kepatuhan bank terhadap kewajiban rahasia bank.
Maksudnya adalah menyangkut "dapat atau tidaknya bank dipercaya oleh nasabah yang
menyimpan dananya pada bank tersebut untuk tidak mengungkapkan simpanan nasabah
identitas nasabah tersebut kepada pihak lain". Dengan kata lain, tergantung kepada
kemampuan bank itu untuk menjunjung tinggi dan mematuhi dengan teguh "rahasia
bank".
Rahasia bank akan dapat lebih dipegang teguh oleh bank apabila ditetapkan
bukan sekedar hanya sebagai kewajiban kontraktual di antara bank dan nasabah, tetapi
ditetapkan sebagai kewajiban pidana. Bila hanya ditetapkan sebagai kewajiban kontraktual
belaka, maka kewajiban bank itu menjadi kurang kokoh karena kewajiban
kontraktual secara mudah dapat disimpangi.
Hal itulah yang telah melandasi ditetapkannya ketentuan rahasia bank dalam
Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana kemudian telah
diubah dengan Undang-Undang No. 10 tahun 1998 sebagai tindak pidana bagi
3
pelanggarannya. Pasal-pasal yang mengatur rahasia bank dalam Undang-Undang No. 10
Tahun 1998 ialah Pasal 40, 41, 41A, 42, 42A, 43, 44, 44A, 45, 47, 47A, 50, 50A, 51, 52
dan 53.
II. SEJARAH MUNCULNYA KONSEP RAHASIA BANK
Konsep rahasia bank bermula timbul dari tujuan untuk melindungi nasabah bank
yang bersangkutan. Hal ini nyata terlihat ketika Court of Appeal Inggris secara bulat
memutuskan pendiriannya dalam kasus Tournier v. National Provincial and Union Bank
of England1 tahun 1924, suatu putusan pengadilan yang kemudian menjadi leading case
law yang menyangkut ketentuan rahasia bank di Inggris dan kemudian diacu oleh
pengadilan- pengadilan negara-negara lain yang menganut common law system. Bahkan
60 tahun sebelum putusan Tournier tersebut, yaitu dalam perkara Foster v. The Bank of
London2 tahun 1862, juri telah berpendapat bahwa terdapat kewajiban bagi bank untuk
tidak boleh mengungkapkan keadaan keuangan nasabah bank yang bersangkutan kepada
pihak lain. Namun pada waktu itu pendirian tersebut belum memperoleh afirmasi dari
putusan-putusan pengadilan berikutnya.
Timbulnya pemikiran untuk perlunya merahasiakan keadaan keuangan nasabah
bank sehingga melahirkan ketentuan hukum mengenai kewajiban rahasia bank, adalah
semula bertujuan untuk melindungi kepentingan nasabah secara individual. Ketentuan
rahasia bank di Swiss, yaitu suatu negara yang dikenal mempunyai ketentuan rahasia
bank yang dahulunya paling ketat di dunia, adalah juga semula bertujuan untuk
melindungi kepentingan nasabah bank secara individual. Pada waktu itu ketentuan
rahasia bank bersifat mutlak; artinya tidak dapat dikecualikan karena alasan apapun juga.
Ketentuan rahasia bank di Swiss lahir mula-mula sehubungan dengan kedudukan Swiss
sebagai negara yang netral secara tradisional. Alasan pertama, dalam abad ke-17, ribuan
kaum Huguenots dari Perancis melarikan diri ke Swiss oleh karena mereka dikejar-kejar
atau dilakukan penyiksaan-penyiksaan terhadap mereka sehubungan dengan agama yang
mereka anut. Diantara mereka itu kemudian ada yang menjadi bankir, dan menginginkan
1Tournier v National Provicial and Union Bank of England [1924] IKB 461. Lihat Pula putusan setelah itu
di tahun 1989, Lipkin Gorman v Karpnale Ltd [1989] 1 WLR.
2Foster v. Bank of London (1862) 3 F. & F. 213. Lihat Dennis Campbell (General Ed.). International
Bank Secrecy. London: Sweet & Maxwell, 1992, hal. 243.
4
agar supaya kerahasiaan dari nasabah-nasabah mereka untuk urusan-urusan keuangannya
di negara asalnya dirahasiakan. Alasan kedua adalah sehubungan dengan
dikejar-kejarnya orang-orang Yahudi di waktu regime Nazi berkuasa di Jerman di tahun
1930-an dan 1940-an.3
Namun perkembangan sehubungan dengan keadaan politik dalam negeri, keadaan
sosial, terutama yang menyangkut timbulnya kejahatan-kejahatan di bidang money
laundering, dan kebutuhan akan adanya stabilitas ekonomi, terutama stabilitas moneter,
telah menimbulkan kebutuhan akan perlunya pelonggaran terhadap kewajiban rahasia
bank yang mutlak itu. Artinya, apabila kepentingan negara, bangsa dan masyarakat
umum harus didahulukan daripada kepentingan nasabah secara pribadi, maka kewajiban
bank untuk melindungi kepentingan nasabah secara individual itu (dalam arti tidak boleh
mengungkapkan keadaan keuangan nasabah) harus dapat dikesampingkan. Contoh yang
konkrit mengenai hal ini adalah berkaitan dengan kepentingan negara untuk menghitung
memungut: 1) pajak nasabah yang bersangkutan, 2) penindakan korupsi, dan 3)
pemberantasan money laundering.
Merupakan hal yang kontradiktif bahwa dalam hal-hal tertentu, justru demi
kepentingan negara, bangsa dan masyarakat umum, dikehendaki agar kewajiban rahasia
bank diperketat. Kepentingan negara yang dimaksud adalah pengerahan dana perbankan
untuk keperluan pembangunan. Kepentingan negara, bangsa dan masyarakat umum itu
dilandasi oleh alasan bahwa dijunjung tingginya dan dipegang teguhnya kewajiban
rahasia bank merupakan faktor terpenting bagi keberhasilan bank dalam upaya bank itu
mengerahkan tabungan masyarakat. Selain itu terganggunya stabilitas moneter adalah
antara lain dapat diakibatkan oleh runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap
perbankan karena terlalu longgarnya rahasia bank. Dalam kaitan itu, undang-undang
yang mengatur mengenai rahasia bank harus tidak memungkinkan kewajiban rahasia
bank secara mudah dapat dikesampingkan dengan dalih karena kepentingan umum
menghendaki demikian.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban rahasia bank
yang harus dipegang teguh oleh bank adalah bukan semata-mata bagi: (1) kepentingan
nasabah sendiri, tetapi juga (2) bagi bank yang bersangkutan dan (3) bagi kepentingan
3Dennis Campbell (General Ed.). International Bank Secrecy. London: Sweet & Maxwell, 1992, hal. 663
5
masyarakat umum sendiri.
III. BERBAGAI MASALAH BERKAITAN DENGAN RAHASIA BANK
Pada saat ini, praktis di semua negara berlaku ketentuan rahasia bank. Dengan
demikian, rahasia bank bersifat universal, namun berbeda-beda dasar hukumnya disetiap
negara.
Pelanggaran rahasia bank yang diatur oleh masing-masing negara dapat
dikelompokkan dalam dua kelompok. Kelompok pertama menentukan pelanggaran
rahasia bank sebagai pelanggaran perdata (civil violation). Negara-negara tersebut
membiarkan kewajiban bank hanya sebagai kewajiban yang timbul dari hubungan kontraktual
belaka di antara bank dan nasabah, namun kewajiban kontraktual tersebut dapat
disimpangi apabila kepentingan umum menghendaki dan apabila secara tegas
dikecualikan oleh ketentuan Undang-Undang tertentu. Hal yang demikian misalnya dapat
kita lihat pada ketentuan rahasia bank menurut hukum Inggris, Amerika Serikat, Kanada,
Australia, Negeri Belanda, Belgia, The Bahamas, The Cayman Islands dan beberapa
negara lainnya. Sedangkan kelompok yang kedua menentukan pelanggaran rahasia bank
sebagai pelanggaran pidana (criminal violation), misalnya Swiss, Austria, Korea Selatan,
Perancis, Luxembourg, dan Indonesia sendiri, dan beberapa negara lainnya.4
Berkenaan dengan berlakunya ketentuan rahasia bank di beberapa negara, ada
beberapa masalah yang timbul dan memberikan perbedaan antara ketentuan rahasia bank
dari satu negara dengan negara lainnya.
Masalah yang pertama ialah yang menyangkut ruang lingkup kerahasiaannya,
yaitu:
o Apakah yang diwajibkan untuk dirahasiakan itu seyogianya hanya terbatas sisi
aktiva (asset) bank ataukah seyogianya termasuk pula sisi pasiva (liabilities)
dari bank itu?
o Apakah indentitas nasabah juga termasuk lingkup yang harus dirahasiakan?
dan 664.
4Francis Neate & Roger McCormick. Bank Confidentiality. London: International Bar Association/
Butterworths, 1990; Dennis Campbell (General Ed.).
6
Masalah kedua adalah menyangkut jangka waktu bagi bank untuk merahasiakan
dalam hal nasabah tersebut tidak lagi menjadi nasabah. Dengan kata lain, apakah
kewajiban rahasia bank itu masih berlaku terus sekalipun yang bersangkutan tidak lagi
menjadi nasabah bank (telah menjadi mantan nasabah)?
Masalah ketiga, ialah mengenai siapa-siapa saja yang dibebani dengan kewajiban
merahasiakan itu. Apakah yang terikat oleh kewajiban rahasia bank hanya pengurus dan
pegawai bank saja? Apakah kewajiban untuk merahasiakan itu berlaku pula bagi pihak
yang terafiliasi dengan bank selain pegawai dan pengurus bank, seperti pemegang saham
bank tersebut, auditor yang melakukan pemeriksaan laporan keuangan bank, konsultan
bank bagi pihak yang akan melakukan akuisisi bank tersebut, pihak yang akan
melakukan merger (penggabungan) atau konsolidasi (peleburan) dengan bank tersebut?
Masalah keempat, adalah yang menyangkut jangka waktu kewajiban
merahasiakan itu bagi pengurus dan pegawai bank. Pertanyaannya adalah apakah rahasia
bank masih tetap berlaku setelah seorang pengurus atau pegawai bank tidak lagi bekerja
pada bank yang bersangkutan? Kalau tetap berlaku, sampai berapa lama sejak pengurus
atau pegawai itu tidak lagi bekerja pada bank tersebut, kewajiban merahasiakan itu harus
dipikulnya? Apakah kewajiban itu dipikul terus seumur hidup?
Masalah kelima, mengenai sikap apa yang seharusnya diambil bila terdapat
benturan antara kepentingan nasabah secara individual dan kepentingan masyarakat luas
(kepentingan umum) berkaitan dengan berlakunya rahasia bank itu. Dengan kata lain,
bila terdapat benturan antara kewajiban untuk memegang teguh rahasia bank demi
melindungi kepentingan nasabah yang bersangkutan dan kewajiban untuk
mengungkapkan rahasia bank demi melindungi kepentingan umum, bagaimana hal itu
seyogianya diatur oleh hukum? Benturan kepentingan ini dapat terjadi misalnya
sehubungan dengan penghitungan dan penagihan pajak oleh pejabat pajak,
pemberantasan tindak pidana, antara lain tindak pidana korupsi, pemberantasan money
laundering, penyimpanan dana oleh warga negara lain dengan siapa negara lokasi bank
tersebut berperang dengan negara dari warga negara penyimpan dana tersebut (dana
simpanan warga dari negara musuh) dan negara dimana bank berlokasi memutuskan
untuk menyita semua dana simpanan dari warga negara musuh.
Masalah keenam, dalam hal terjadi keadaan dimana demi melindungi
kepentingan bank, justru kepentingan bank itu hanya mungkin terlindungi apabila bank
7
mengungkapkan keterangan mengenai keadaan keuangan nasabah pada bank yang
bersangkutan dan identitas nasabahnya. Hal itu terjadi antara lain apabila timbul perkara
gugat menggugat antara bank dan nasabah. Tidaklah mungkin bagi bank untuk dapat
membela diri dalam perkara itu apabila bank tidak diperkenankan untuk mengungkapkan
keadaan keuangan nasabah yang berperkara dengan bank itu yang ada di bank tersebut.
Masalah ketujuh, adalah apabila dalam hal-hal tertentu rahasia bank itu boleh
diungkapkan sebagai pengecualian, maka masalahnya adalah: Apakah pengecualian itu
diberikan demi hukum atau harus terlebih dahulu memperoleh izin dari otoritas yang
berwenang. Maksudnya adalah, apabila pengecualian itu terjadi demi hukum, maka
pengecualain tersebut langsung diberikan oleh undang-undang. Tetapi apabila
pengeculian itu hanya dapat diberikan setelah terlebih dahulu diperoleh izin dari otoritas
yang berwenang memberikan izin tersebut, maka tanpa adanya izin tersebut bank tidak
mungkin mengungkapkan informasi yang harus dirahasiakan itu.
Masalah kedelapan ialah yang menyangkut siapa otoritas yang berwenang
memberikan izin pengecualian tersebut? Apakah otoritas yang berwenang memberikan
izin pengecualian itu adalah Menteri Keuangan, Pimpinan Bank Sentral, ataukah
Pengadilan, atau Kepala Negara?
Masalah yang kesembilan adalah yang menyangkut persetujuan nasabah.
Berkaitan dengan itu, ternyata berbeda-beda juga antara ketentuan negara yang satu
dengan negara yang lain mengenai apakah persetujuan nasabah dapat menghapuskan
kewajiban bank untuk memegang teguh rahasia bank itu.
Sehubungan dengan masalah-masalah tersebut di atas, dalam tulisan ini akan
dibahas masalah-masalah yang dikemukakan di atas itu.
IV. RUMUSAN PENGERTIAN RAHASIA BANK DAN RUMUSAN TINDAK
PIDANA RAHASIA BANK
Dasar hukum dari ketentuan rahasia bank di Indonesia mula-mula ialah Undang-
Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tetapi kemudian telah diubah dengan
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.
Pengertian rahasia bank oleh Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 diberikan oleh
8
Pasal 1 angka 16 yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari
nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan.
Pengertian ini telah diubah dengan pengertian yang baru oleh Undang-Undang
No. 10 Tahun 1998. Oleh Undang-Undang itu rumusan yang baru diberikan dalam Pasal
1 angka 28 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang lengkapnya berbunyi sebagai
berikut:
Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah
Penyimpan dan Simpanannya.
Selain dari memberikan rumusan dari pengertiannya, Undang-Undang Perbankan
juga memberikan rumusan mengenai delik rahasia bank. Undang-Undang No. 7 Tahun
1992 memberikan rumusan delik rahasia bank sebagaimana ditentukan dalam Pasal 40
ayat (1). Bunyi lengkap dari rumusan delik rahasia bank menurut Undang-Undang No. 7
Tahun 1992 ialah:
Pasal 40
(1) Bank dilarang memberikan keterangan yang tercatat pada bank tentang keadaan keuangan
dan hal-hal lain dari nasabahnya, yang wajib dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman
dalam dunia perbankan, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasl 41, 42, 43 dan
44.
Rumusan delik rahasia bank tersebut di atas telah diubah dengan rumusan yang
baru, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dari Undang-Undang No. 10 Tahun
1998. Rumusan yang baru itu lengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40
(1) Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya,
kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43,
Pasal 44 dan Pasal 44A.
Kedua rumusan delik rahasia bank itu sangat berbeda. Perbedaannya akan
diuraikan dalam bab-bab berikut dari makalah ini.
Tindak pidana rahasia bank menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Pasal
51 ialah kejahatan. Sanksi tindak pidana rahasia bank ditentukan dalam Pasal 47 ayat (2),
yaitu pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun
dan denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,- (empat milyar rupiah) dan paling
banyak Rp. 8.000.000.000,- (dua milyar rupiah).
9
V. LINGKUP RAHASIA BANK
Pertanyaan sehubungan dengan ketentuan rahasia bank ialah: Apakah yang harus
dirahasiakan itu hanya terbatas kepada keadaan keuangan nasabah penyimpan dana saja?
Apakah juga menyangkut keadaan keuangan nasabah debitur? Dengan kata lain, apakah
lingkup rahasia bank hanya menyangkut pasiva (liabilities) bank berupa dana nasabah
bank ataukah juga meliputi aktiva (assets) bank berupa kredit bank kepada nasabah.
Apakah juga menyangkut penggunaan jasa-jasa bank yang lain selain jasa penyimpanan
dana dan jasa pemberian kredit? Apakah keadaan keuangan dari nasabah yang hanya
menggunakan jasa perbankan dari bank tersebut selain berupa jasa simpanan dan kredit,
seperti pengiriman uang (transfer dana), pembukaan L/C, penerimaan L/C, harus pula
dirahasiakan? Sehubungan dengan lingkup rahasia bank, juga merupakan legal issue
mengenai apakah identitas nasabah merupakan hal yang harus dirahasiakan juga?
Ketika meletus peristiwa kredit macet dari Golden Key Group atau Eddy Tansil
yang diberikan oleh PT. Bank Pembangunan Indonesia (Persero) atau Bapindo, maka
telah timbul berbagai pendapat di kalangan masyarakat mengenai: Apakah rahasia bank
itu juga berlaku bagi keadaan keuangan dari nasabah debitur, lebih-lebih lagi nasabah
debitur yang telah macet kreditnya? Yang paling keras pendapatnya adalah Kwik Kian
Gie yang berpendapat bahwa rahasia bank hanya berlaku bagi nasabah penyimpan dana,
tidak berlaku bagi nasabah debitur. Pada waktu itu, rumusan rahasia bank yang berlaku
adalah rumusan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 (sebelum diubah
dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998).
Dari penjelasan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 yang
mengemukakan "Kerahasiaan itu diperlukan untuk kepentingan bank sendiri yang
memerlukan kepercayaan masyarakat yang menyimpan uangnya di bank" dapat
disimpulkan bahwa lingkup rahasia bank memang menyangkut simpanan nasabah.
Namun bila membaca kalimat selanjutnya dari penjelasan Pasal 40 ayat (1) itu yang
berbunyi "masyarakat hanya akan mempercayakan uangnya kepada bank atau
memanfaatkan jasa bank (sudah barang tentu termasuk jasa bank berupa kredit, penulis)
apabila dari bank ada jaminan bahwa pengetahuan bank tentang simpanan dan keadaan
keuangan nasabah (termasuk kredit yang diperolehnya, penulis) tidak akan
disalahgunakan", dapat disimpulkan bahwa bukan hanya keadaan keuangan dari nasabah
10
yang menyimpan dana pada bank saja (pasiva bank), tetapi juga nasabah lain yang
menggunakan jasa bank selain jasa penyimpanan dana. Dengan demikian rahasia bank
juga berlaku bagi nasabah debitur atau kredit bank (aktiva) maupun nasabah yang
menggunakan jasa bank lain, seperti misalnya kiriman uang, pembukaan L/C, jaminan
bank, dan lain-lain.
Bahwa ketentuan rahasia bank menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
berlaku bukan saja menyangkut keadaan keuangan dari nasabah penyimpan dana (pasiva
bank), tetapi berlaku pula bagi kredit yang diperoleh oleh nasabah debitur dari bank
tersebut (aktiva bank), adalah dapat pula disimpulkan dari penjelasan Pasal 44 ayat (1)
dan ayat (2) yang berkaitan dengan informasi antara bank mengenai kredit.
Penafsiran tentang pengertian rahasia bank seperti yang saya kemukakan di atas
adalah juga pendirian Bank Indonesia sebagaimana dikemukakan dalam Surat Direksi
Bank Indonesia No. 2/377/UPPB/PbB tanggal 11 September 1969 kepada semua
bank-bank di Indonesia perihal "Penafsiran tentang Pengertian Rahasia Bank". Surat
Bank Indonesia tersebut sekalipun berkaitan dengan penafsiran tentang pengertian
rahasia bank menurut Pasal 36 dan Pasal 37 Undang-Undang No. 14 Tahun 1967, namun
masih dianggap tetap berlaku berkaitan dengan ketentuan rahasia bank menurut Undang-
Undang No. 7 Tahun 1992.
Masyarakat merasa sangat tidak puas atas rumusan rahasia bank sebagaimana
dirumuskan oleh Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992. Masyarakat
berpendapat bahwa rumusan itu terlalu jauh, karena sampai mencakup kredit bank yang
diberikan kepada nasabah. Masyarakat berpendapat bahwa seyogianya lingkup rahasia
bank hanya meliputi dana simpanan nasabah saja (pasiva bank) dan keterangan yang
menyangkut nasabah penyimpannya. Lingkup rahasia bank yang sampai meliputi kredit
yang diterima oleh nasabah (aktiva bank), dirasakan oleh masyarakat sebagai
memperkosa atau memasung hak masyarakat untuk mengetahui kredit-kredit macet
perbankan yang sangat mempengaruhi kesehatan perbankan. Sehubungan dengan itu,
maka rumusan rahasia bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-
Undang No. 7 Tahun 1992 telah diubah dengan rumusan yang baru sebagaimana
dirumuskan oleh Pasal 40 ayat (1) yang baru dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.
Menurut rumusan Pasal 40 ayat (1) tersebut, lingkup rahasia bank ditegaskan hanya
terbatas kepada simpanan nasabah (pasiva bank) saja.
11
Berkaitan dengan lingkup yang wajib dirahasiakan berkenaan dengan berlakunya
ketentuan rahasia bank itu ialah apakah indentititas nasabah bank harus pula dirahasiakan
oleh bank?. Dari rumusan Pasal 40 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, secara eksplisit
disebutkan bahwa lingkup rahasia bank adalah menyangkut bukan saja simpanan nasabah
tetapi juga (identitas) Nasabah Penyimpan yang memiliki simpanan itu. Bahkan dalam
rumusan Pasal 40 itu, “Nasabah Penyimpan” disebut lebih dahulu daripada
“Simpanannya”5. Nampaknya dalam pikiran pembuat Undang-Undang, justru identitas
Nasabah Penyimpannya lebih penting daripada Simpanannya. Atau mungkin pula dalam
pikiran pembuat Undang-Undang, “Nasabah Penyimpan” sengaja disebut lebih dahulu
daripada “Simpanannya”, untuk menekankan bahwa merahasiakan identitas Nasabah
Penyimpannya sama pentingnya dengan merahasiakan Simpanannya.
Dibeberapa negara memang lingkup dari rahasia bank tidak ditentukan hanya
terbatas kepada keadaan keuangan nasabah saja, tetapi meliputi pula identitas nasabah
yang bersangkutan.
Menurut pendapat saya, lingkup rahasia bank sebaiknya meliputi hal-hal sebagai
berikut:
1. Menyangkut sisi liabilities (pasiva) bank. Sisi asset (aktiva) bank tidak perlu
dirahasiakan.
2. Keadaan keuangan nasabah bukan penyimpan dana yang menggunakan jasa bank
sesaat (walk-in customer) yang jasa bank itu menimbulkan kewajiban bagi bank
untuk membayarkan dana kepada pihak tersebut atau pihak yang ditunjuk oleh
yang bersangkutan (antara lain berupa pengiriman uang) yang dana itu berasal
dari setoran nasabah.
3. Identitas nasabah.
VI. INFORMASI MENGENAI MANTAN NASABAH
Adalah lazim di dalam praktik perbankan atau praktik bisnis, bahwa seorang
nasabah berpindah-pindah atau berganti-ganti bank, seperti adalah lazim seorang nasabah
mempunyai beberapa bank. Sehubungan dengan kelaziman itu, maka timbul pertanyaan:
5Lihat rumusan Pasal 40 di Bab III makalah ini.
12
Apakah bank masih terikat terhadap kewajiban rahasia bank setelah nasabahnya tidak
lagi menjadi nasabah bank yang bersangkutan? Hal ini ternyata tidak diatur atau
ditentukan oleh Undang-Undang baik oleh Undang-Undang No. 7 tahun 1992 maupun
oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.
Mengingat tujuan dari diadakannya ketentuan mengenai kewajiban rahasia bank,
seyogianya apabila Undang-Undang Perbankan Indonesia menentukan bahwa kewajiban
rahasia bank tetap diberlakukan sekalipun nasabah yang bersangkutan telah tidak lagi
menjadi nasabah bank yang bersangkutan (telah menjadi mantan nasabah). Sekalipun
Undang-Undang Perbankan Indonesia hendaknya menetapkan agar bank merahasiakan
identitas dan keadaan keuangan mantan nasabah bank, namun perlu diberikan
pembatasan jangka waktu, misalnya selama jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat tidak
menjadi nasabah lagi.
VII. PIHAK-PIHAK YANG BERKEWAJIBAN MEMEGANG TEGUH
RAHASIA BANK
VII.1. Pihak-Pihak Yang Berkewajiban Merahasiakan.
Menurut Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang
berkewajiban memegang teguh rahasia bank ialah:
o Anggota Dewan Komisaris Bank
o Anggota Direksi Bank
o Pegawai Bank
o Pihak terafiliasi lainnya dari bank.
VII.2. Pengertian Pegawai Bank
Siapa sajakah yang dapat dikatagorikan sebagai “pegawai bank” yang
dimaksudkan dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 itu? Menurut
penjelasan dari Pasal 47 ayat (2) yang dimaksudkan dengan “pegawai bank” adalah
"semua pejabat dan karyawan bank". Menurut hemat saya, lingkup sasaran tindak pidana
rahasia bank ini terlalu luas dan tidak realistis. Dengan pengertian bahwa “pegawai
13
bank” adalah "semua pejabat dan karyawan bank ", maka berarti rahasia bank berlaku
bagi siapa saja yang menjadi pegawai bank, sekalipun pegawai bank tersebut tidak
mempunyai akses sama sekali terhadap atau tidak mempunyai hubungan sama sekali
dengan nasabah penyimpan dan simpanannya, misalnya para pelayan, satpam,
pengemudi, juru ketik di unit logistik, para pegawai di unit yang mengurusi kendaraan
dan masih banyak lagi contoh yang dapat dikemukakan.
VII.3. Kewajiban Merahasiakan Bagi Mantan Pegawai Bank.
Seorang pegawai bank tidak selamanya menjadi pegawai dari bank yang
bersangkutan. Yang bersangkutan akan (1) menjalani pensiun setelah masanya tiba, atau
(2) berhenti atas permintaan sendiri atau (3) diberhentikan oleh bank tempatnya bekerja.
Beberapa waktu yang lalu banyak pegawai bank yang terpaksa terkena PHK
massal karena banyak bank dilikuidasi, atau dibekukan kegiatan usahanya. Timbul
pertanyaan, bila pegawai bank itu sudah tidak lagi menjadi pegawai, apakah mantan
pegawai itu masih tetap terkena oleh kewajiban untuk memegang teguh rahasia bank
yang menjadi kewajibannya sewaktu yang bersangkutan masih menjadi pegawai aktif
dari bank yang bersangkutan? Ternyata Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 maupun
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tidak mengaturnya.
Beberapa negara menentukan bahwa mantan pengurus dan pegawai bank terikat
oleh kewajiban rahasia bank. Ada yang menentukan keterikatannya itu berakhir setelah
beberapa tahun sejak saat yang bersangkutan berhenti sebagai pengurus atau pegawai
bank; ada pula yang menentukan kewajiban tersebut melekat terus seumur hidup.
Menurut hemat saya, Undang-Undang Perbankan Indonesia seyogianya
menentukan secara tegas bahwa kewajiban merahasiakan itu berlaku terus sekalipun
seseorang telah tidak lagi menjadi pengurus atau pegawai bank. Hanya saja perlu
diperdebatkan apakah keterikatannya pada kewajiban itu perlu ditentukan batas
waktunya ataukah sebaiknya diberlakukan terus seumur hidup. Menurut hemat saya,
sebaiknya diberlakukan untuk jangka waktu tertentu saja sejak yang bersangkutan tidak
lagi menjadi pegawai, misalnya untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak tidak lagi
menjadi pegawai.
14
VII.4. Pengertian Pihak Terafiliasi lainnya.
Siapa sajakah yang dimaksudkan dengan pihak terafiliasi lainnya dari bank itu?
Mengenai siapa yang dimaksudkan sebagai pihak yang terafiliasinya ditentukan di dalam
Pasal 1 ayat (22) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Menurut Pasal 1 ayat (22)
tersebut yang dimaksudkan dengan “pihak terafiliasi” ialah:
1. anggota dewan komisaris, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat, atau karyawan Bank;
2. anggota pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya, Pejabat atau karyawan Bank, khusus
bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan
yang berlaku;
3. pihak yang memberikan jasanya kepada Bank, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan
hukum, dan konsultan lainnya;
4. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan bank,
antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, keluarga pengawas,
keluarga direksi, keluarga pengurus.
Jadi yang dimaksudkan oleh Pasal 47 dengan pihak terafiliasi lainnya ialah selain
anggota dewan komisaris, direksi dan pegawai bank adalah siapapun yang memberikan
jasanya kepada bank (seperti akuntan publik dan konsultan dan pemegang saham dan
keluarganya serta keluarga pengurus bank).
VIII. PENGECUALIAN ATAS BERLAKUNYA RAHASIA BANK
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa di satu pihak kepentingan
masyarakat menghendaki supaya kewajiban rahasia bank dipegang teguh oleh perbankan,
namun di pihak lain jangan sampai untuk hal-hal tertentu kepentingan masyarakat
tersisihkan justru apabila kewajiban rahasia bank itu dilaksanakan dengan teguh. Untuk
keperluan itu, masyarakat justru menginginkan agar untuk hal-hal tertentu kewajiban
rahasia bank itu hendaknya dapat dikecualikan.
VIII.1. Pengecualian yang telah diatur dalam Undang-Undang Perbankan
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 memberikan pengecualian dalam 7 (tujuh)
hal. Pengecualian tersebut bersifat limitatif, artinya di luar 7 (tujuh) hal yang telah
dikecualikan itu tidak terdapat pengecualian yang lain. Ketujuh pengecualian itu adalah:
1. Untuk kepentingan perpajakan dapat diberikan pengecualian kepada pejabat
pajak berdasarkan perintah Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri
Keuangan (Pasal 41).
15
2. Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan
Piutang Dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara dapat diberikan
pengecualian kepada pejabat Badan Urusan Piutang Dan Lelang Negara/Panitia
Urusan Piutang Negara atas izin Pimpinan Bank Indonesia (Pasal 41A).
3. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana dapat diberikan pengecualian
kepada polisi, jaksa atau hakim atas izin Pimpinan Bank Indonesia (Pasal 42).
4. Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya dapat diberikan
pengecualian tanpa harus memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia (Pasal 43).
5. Dalam rangka tukar-menukar informasi di antara bank kepada bank lain dapat
diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia
(Pasal 44). Termasuk di dalam pengertian tukar menukar informasi antar bank itu
adalah dalam penggunaan ATM bersama.
6. Atas persetujuan, permintaan atau kuasa dari Nasabah Penyimpan secara tertulis
dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin Pimpinan Bank
Indonesia (Pasal 44A ayat (1)).
7. Ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan dalam hal nasabah penyimpan telah
meninggal dunia (Pasal 44A ayat (2)).
Sehubungan dengan pengecualian yang bersifat limitatif itu, apabila pihak-pihak
lain (selain yang telah ditentukan sebagai pihak-pihak yang boleh pemperoleh
pengecualian) meminta penjelasan mengenai keadaan keuangan suatu nasabah dari suatu
bank, jelas jawabannya adalah "tidak boleh". Misalnya saja, apabila Dewan Perwakilan
Rakyat (yang notabene adalah lembaga tinggi negara yang mewakili rakyat atau
kepentingan umum, dengan demikian segala tindakannya tentu dilandasi oleh
kepentingan umum) menghendaki agar bank dalam suatu sidang dengar pendapat
mengungkapkan tentang nasabah penyimpan atau simpanannya, maka bank tidak boleh
memberikan keterangan yang demikian itu. Hal itu tidak pula dapat diterobos dengan
cara DPR meminta ijin dari Pimpinan Bank Indonesia. Demikian pula tidak
dimungkinkan bagi Penguasa Darurat Militer, Oditur Jenderal Angkatan Bersenjara
Republik Indonesia, dan instansi-instansi lain sekalipun dalam pelaksanaan tugasnya
berkaitan dengan kepentingan umum, untuk memperoleh keterangan mengenai identitas
dan simpanan nasabah dari suatu bank sekalipun dengan cara meminta ijin dari Pimpinan
16
Bank Indonesia.
Di bawah ini dibahas lebih lanjut beberapa ketentuan pengecualian yang
ditentukan oleh Undang-undang Perbankan.
VIII.2. Rahasia Bank Dalam Perkara Perdata Antara Bank Dan Pihak Ketiga
Bukan Nasabah Yang Menyangkut Simpanan Nasabah
Sebagaimana ditentukan oleh Pasal 43 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
bahwa dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, Direksi bank yang
bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang simpanan nasabah
yang bersangkutan yang relevan dengan perkara tersebut. Namun di dalam praktik sering
bank dihadapkan kepada keadaan yang bagi bank tidak jelas pengaturannya apakah untuk
menghadapi keadaan itu bank boleh mengungkapkan keadaan keuangan nasabah.
Misalnya dalam kasus pertama yaitu dalam hal kasus gugatan dimana pihak ketiga
menggugat nasabah sebagai Tergugat I dan bank sebagai Tergugat II. Kasus kedua
adalah pihak ketiga yang bukan nasabah yang bersengketa dengan nasabah, telah
menggugat nasabah. Untuk jaminan bagi gugatannya itu, pihak ketiga telah mengajukan
permohonan sita jaminan kepada pengadilan atas simpanan nasabah (giro, deposito atau
tabungan) di bank tersebut. Atas permohonan tersebut, pengadilan telah mengabulkan
dan melalui juru sita, pengadilan memerintahkan kepada bank untuk memblokir
simpanan nasabah sebagai jaminan.
Undang-Undang menentukan bahwa bank dapat mengungkapkan simpanan
nasabah jika dalam hal bersengketa dalam perkara perdata dengan nasabah. Tetapi dalam
kedua kasus tersebut, bank bukan menghadapi nasabah sebagai lawan, tetapi menghadapi
pihak ketiga yang bukan nasabah. Undang-Undang Perbankan tidak mengatur sama
sekali mengenai sikap yang dapat diambil oleh bank dalam hal bank berlawanan dengan
pihak ketiga yang bukan nasabah. Dalam kasus yang pertama, apakah bank (Tergugat II)
harus meminta izin dari Pimpinan Bank Indonesia apabila untuk membela diri
menghadapi gugatan pihak ketiga yang bukan nasabah itu harus terpaksa
mengungkapkan data mengenai dana simpanan nasabah (Tergugat I).
Menurut hemat saya, Undang-Undang tidak memberikan aturan sama sekali
mengenai kemungkinan bagi bank untuk dapat mengungkapkan simpanan nasabah
17
sekalipun dengan cara meminta izin dari Pimpinan Bank Indonesia. Dalam hal ini, jalan
satu-satunya yang dapat ditempuh oleh bank adalah meminta persetujuan dari nasabah.
Namun akan timbul masalah apabila nasabah ternyata menolak memberikan persetujuan
kepada bank untuk dapat mengungkapkan keadaan dana simpanannya itu, yaitu karena
nasabah berpendirian bahwa pengungkapan keadaan dana simpanannya itu justru akan
memperlemah posisi hukum nasabah dalam upaya pembelaannya.
Apabila bank didatangi oleh juru sita dalam rangka pelaksanaan peletakan sita
jaminan sebagaimana pada kasus kedua tersebut diatas, bank juga tidak dimungkinkan
oleh Undang-Undang untuk mengungkapkan ada atau tidak adanya dana nasabah di bank
tersebut. Apabila permintaan sita jaminan itu dipenuhi oleh bank dengan cara memblokir
dana simpanan nasabah itu, maka bank melanggar ketentuan rahasia bank. Dalam hal ini
jalan yang dapat ditempuh oleh nasabah adalah meminta persetujuan nasabah. Tetapi
seperti pada kasus yang pertama, belum tentu nasabah bersedia memberikan
persetujuannya.
Hal yang telah dicontohkan tersebut diatas ternyata tidak ditentukan oleh
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 sebagai hal yang dikecualikan. Dengan demikian
menjadi pertanyaan, apakah dalam menghadapi situasi seperti itu bank boleh
mengungkapkan identitas nasabah dan simpanannya untuk kepentingan bank apabila hal
yang demikian itu perlu dilakukan. Oleh karena hal itu tidak dikecualikan sebagai yang
diperbolehkan, maka bank selalu menghadapi kesulitan bila menghadapi keadaan yang
demikian itu.
VIII.3. Rahasia Bank Terhadap Hakim Dalam Perkara Pidana
Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 menentukan
bahwa untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, hakim melalui Ketua
Mahkamah Agung harus memperoleh izin terlebih dahulu dari Pimpinan Bank Indonesia
untuk dapat memperoleh keterangan dari bank tentang keadaan keuangan terdakwa yang
menjadi nasabah bank itu. Menurut hemat saya, hakim dalam menjalankan tugasnya
memeriksa suatu perkara, bukan saja perkara perdata tetapi juga perkara pidana, tidak
seyogianya perlu mendapat izin terlebih dahulu dari Pimpinan Bank Indonesia
18
sebagaimana menurut Pasal 42 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 itu. Justru di negaranegara
lain izin pengecualian diberikan oleh pengadilan.
Menurut hemat saya, ketentuan Pasal 42 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 itu
bertentangan dengan Penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 1945. Penjelasan Pasal 24 dan
Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 mengemukakan:
Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh pemerintah.
Mengenai kekuasaan kehakiman yang merdeka ini lebih lanjut ditentukan dan
dijamin oleh TAP MPR No. III/MPR/1978 yang mengemukakan:
Mahkamah Agung adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam
pelaksanaan tugasnya, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh
lainnya.
Ketentuan Pasal 42 No. 10 Tahun 1998 yang menentukan bahwa hakim harus
memperoleh izin terlebih dahulu Pimpinan Bank Indonesia yang melalui Ketua
Mahkamah Agung untuk dapat memperoleh keterangan dari bank tentang keadaan
keuangan terdakwa yang menjadi nasabah bank, berarti kekuasaan kehakiman telah
dicampuri pemerintah.
Jelas bahwa karena Pasal 42 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 bertentangan
dengan Undang-UndangD 1945, seharusnya diubah.
VIII.4. Rahasia Bank Terhadap Bank Indonesia
Bagaimana halnya apabila Bank Indonesia, yang menurut ketentuan Undang-
Undang No. 10 Tahun 1998 ditugasi untuk melakukan pembinaan dan pengawasan bank,
memerlukan rincian keadaan keuangan nasabah tertentu dari suatu bank. Apakah oleh
karena tidak disebutkan secara tegas bahwa terhadap Bank Indonesia tidak berlaku
ketentuan rahasia bank, maka apakah tidak boleh pula bank yang bersangkutan
memberikan keterangan yang diminta oleh Bank Indonesia itu? Dengan kata lain, apakah
terhadap Bank Indonesia ketentuan rahasia bank berlaku?
Saya berpendapat bahwa terhadap Bank Indonesia ketentuan rahasia bank tidak
berlaku sekalipun tidak secara tegas ditentukan demikian di dalam Undang-Undang
Perbankan. Mengapa demikian? Apabila Bank Indonesia tidak termasuk sebagai pihak
yang dikecualikan untuk dapat memperoleh informasi dari bank mengenai keadaan
keuangan nasabah-nasabah bank tersebut, sudah barang tentu Bank Indonesia tidak
mungkin melakukan pembinaan dan pengawasan bank sebagaimana fungsi tersebut
19
ditetapkan oleh Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang
No. 10 Tahun 1998. Menurut Pasal 30 ayat (1): "Bank wajib menyampaikan kepada
Bank Indonesia, segala keterangan, dan penjelasan mengenai usahanya menurut tara cara
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia". Selanjutnya Pasal 30 ayat (2) menentukan: "Bank
atas permintaan Bank Indonesia, wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksaan
buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya, serta wajib memberikan bantuan yang
diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan, dokumen dan
penjelasan yang dilaporkan oleh bank yang bersangkutan". Ketentuan ayat (1) dan ayat
(2) Pasal 30 tersebut jangan ditafsirkan semata-mata secara gramatikal, tetapi harus pula
ditafsirkan secara teleologis (menurut tujuannya). Mengingat bahwa tujuan dari
ketentuan Pasal 30 tersebut adalah agar Bank Indonesia dapat menjalankan fungsi
pembinaan dan pengawasan bank sebagaimana mestinya, maka sudah barang tentu segala
keterangan dan penjelasan serta pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada di
bank harus dapat diakses secara bebas oleh Bank Indonesia.
Dari penjelasan tersebut di atas, maka menurut hemat saya, di luar tujuh
pengecualian terhadap berlakunya ketentuan kewajiban rahasia bank yang harus
dipegang teguh oleh setiap bank, yaitu pengecualian yang ditentukan dalam Pasal 41,
41A, 42, 43, 44 dan 44A, ada pengecualian yang kedelapan, yaitu dalam hal bank
memenuhi ketentuan Pasal 30 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang
No. 10 Tahun 1998, yaitu penyampaian keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya kepada Bank Indonesia.
VIII.5. Rahasia Bank Terhadap Badan Pemeriksa Keuangan
Sebagaimana diketahui Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah external
auditor dari Bank-bank BUMN. Apabila BPK di dalam rangka melakukan audit pada
Bank-bank BUMN bermaksud untuk melakukan pemeriksaan yang menyangkut keadaan
keuangan nasabah apakah Bank BUMN yang bersangkutan harus mengijinkannya tanpa
dianggap melanggar rahasia bank? Menurut hemat saya, BPK tidak berwenang karena
BPK bukan merupakan pihak yang terhadapnya ketentuan rahasia bank dikecualikan. Hal
tersebut mengingat alasan-alasan sebagai berikut:
o Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang No. 5 Tahun 1973 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan, bahwa dalam pelaksanaan tugasnya, pada dasarnya BPK
memang berwenang meminta keterangan yang wajib diberikan oleh setiap orang,
badan/instansi pemerintah atau badan swasta, namun sepanjang tidak bertentangan
dengan undang- undang.
o Pemeriksaan oleh BPK terhadap suatu Bank BUMN tidak dapat dilepaskan dari
20
ketentuan Pasal 40 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang menentukan bahwa
bank dilarang untuk memberikan keterangan tentang Nasabah Penyimpan dan
Simpanannya
o Oleh karena pelaksanaan audit oleh BPK terhadap suatu Bank BUMN tidak boleh
bertentangan dengan undang- undang, sebagaimana hal itu ditentukan oleh Pasal 4
Undang-Undang No. 5 Tahun 1973 tentang BPK, dengan demikian tidak boleh pula
bertentangan dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, maka BPK tidak
berwenang untuk memeriksa berkas nasabah atau untuk meminta bank
menyampaikan informasi mengenai simpanan para nasabahnya secara individual.
Pendirian saya yang demikian itu adalah juga pendirian Bank Indonesia
sebagaimana hal itu ditegaskan dalam surat Bank Indonesia No. 26/531/UHS/HKM
tanggal 31 Maret 1994 kepada Direksi PT. Bank Negara Indonesia (Persero) perihal
"Pemeriksaan Data Keuangan Nasabah oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)".
VIII.6. Rahasia Bank Dalam Hal Ada Persetujuan Nasabah
Rumusan rahasia bank sebagaimana menurut Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang
No. 7 Tahun 1992 (sebelum diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998) dan
pengecualian-pengecualiannya telah menimbulkan ketidakpastian apakah persetujuan
nasabah dapat mengecualikan ketentuan rahasia bank . Mengingat delik rahasia bank
dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 itu bukan merupakan delik aduan, maka
adanya persetujuan nasabah yang bersangkutan tidak dapat membebaskan bank dari
kewajibannya untuk merahasiakan. Dengan kata lain, sekalipun nasabah telah
memberikan persetujuannya kepada bank untuk dapat mengungkapkan keadaan
keuangan nasabah, tetap saja bank dianggap telah melakukan pelanggaran rahasia bank
dan karena itu terancam dikenai pidana. Penjelasan dibawah ini akan dapat lebih
memperjelas permasalahannya.
Dalam pengecualian-pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank yang
ditentukan oleh Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 (sebelum diubah dengan Undang-
Undang No. 10 Tahun 1998), tidak disebutkan secara eksplisit bahwa rahasia bank tidak
berlaku bila ada persetujuan nasabah kepada bank untuk mengungkapkannya.
Sehubungan dengan itu timbul pertanyaan, apakah sekalipun telah ada persetujuan
21
nasabah, bank tetap tidak dapat terlepas dari kewajiban untuk merahasiakan keadaan
keuangan nasabah yang telah memberikan persetujuannya itu? Pertanyaan tersebut
merupakan salah satu legal issue penting yang menyangkut ketentuan rahasia bank
Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 7. Tahun 1992. Tidak demikian halnya
dengan ketentuan rahasia bank menurut hukum Inggris dan hukum dari negara-negara
yang menetapkan ketentuan rahasia bank sebagai kewajiban perdata atau kewajiban
kontraktual. Dengan kata lain, menurut ketentuan hukum Inggris rahasia bank tidak
berlaku apabila pengungkapannya oleh bank disetujui oleh nasabah.
Sebagaimana digariskan oleh putusan Court of Appeal Inggris dalam perkara
Tournier v National Provicial and Union Bank of England [1924] IKB 461, ditegaskan
bahwa persetujuan nasabah merupakan salah satu bentuk pengecualian bagi berlakunya
ketentuan rahasia bank. Menurut putusan perkara Tournier tersebut, kewajiban rahasia
bank dikecualikan dalam hal-hal sebagai berikut6:
o Apabila pengungkapannya disetujui oleh nasabah, baik berdasarkan persetujuan yang
dinyatakan secara tegas maupun secara diam-diam (express or implied consent).
o Apabila untuk kepentingan bank, pengungkapan tersebut perlu dilakukan.
o Apabila pengungkapannya dikehendaki oleh Undang-Undang.
o Apabila pengungkapannya dilakukan oleh bank di dalam rangka menjalankan
kewajibannya kepada masyarakat.
Mengingat bahwa ketentuan rahasia bank menurut hukum Inggris merupakan
kewajiban perdata atau kewajiban kontraktual, maka pengungkapan rahasia bank yang
dilakukan oleh bank berdasarkan persetujuan nasabah sebagai pihak dalam perjanjian
bukanlah tindakan ingkar janji (default).
Bagaimana halnya bila kewajiban rahasia bank itu bukan merupakan kewajiban
perdata tetapi kewajiban pidana? Dalam hal yang demikian adalah tidak akan
menimbulkan silang pendapat apabila "tidak adanya persetujuan nasabah" memang
ditentukan sebagai salah satu unsur delik (unsur tindak pidana rahasia bank yang
bersangkutan). Misalnya seperti yang ditentukan dalam The Real Name Financial
Transaction Law dari Korea Selatan yang diberlakukan mulai 31 Desember 1982.
6Francis Neate & Roger McCormick, hal. 91; Dennis Campbell (General Ed.), hal. 247.
22
Menurut Pasal 5 ayat (1) dari Undang-Undang tersebut, bahwa seorang pegawai dari
suatu lembaga keuangan tidak boleh mengungkapkan kepada pihak lain setiap informasi
yang menyangkut suatu transaksi keuangan tanpa adanya permintaan tertulis dari atau
persetujuan dari orang yang merupakan pihak dari transaksi keuangan tersebut; tidak
seorangpun dapat meminta seorang pegawai dari suatu lembaga keuangan untuk
mengungkapkan informasi keuangan yang demikian itu7. Dengan demikian, "tanpa
permintaan tertulis atau persetujuan tertulis dari nasabah sebagai pihak dari transaksi
keuangan bank" merupakan unsur dari tindak pidana yang bersangkutan. Dengan kata
lain, apabila memang ada permintaan atau persetujuan tertulis dari nasabah agar bank
mengungkapkan keadaan keuangannya, maka tidak dapat dianggap telah terjadi tindak
pidana pengungkapan rahasia bank.
Dalam pengecualian terhadap kewajiban rahasia bank sebagaimana ditentukan
oleh Undang-Undang No.7 Tahun 1992, tidak termasuk adanya persetujuan nasabah.
Dengan demikian, apakah berarti sekalipun telah ada persetujuan nasabah, bahkan dalam
hal-hal tertentu justru diminta oleh nasabah sendiri untuk bank mengungkapkan kepada
pihak lain mengenai keadaan keuangannya di bank itu, bank tetap terikat pada kewajiban
rahasia bank tersebut?
Menurut hemat saya, bila telah ada persetujuan nasabah, maka bank tidak lagi
terikat pada kewajiban merahasiakan itu. Alasannya ialah “karena menurut kelaziman
dalam dunia perbankan”, adanya persetujuan nasabah untuk mengungkapkan keadaan
keuangannya tidak termasuk yang diwajibkan untuk dirahasiakan oleh bank. Hal itu
misalnya berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
o Sehubungan dengan permintaan nasabah untuk memperoleh kredit dari bank lain
demi bank lain itu mengetahui credit worthiness dari nasabah.
o Dalam rangka nasabah dapat memperoleh fasilitas dari perusahaan atau instansi
tertentu (misalnya untuk memenangkan proyek) yang untuk itu perlu
creditworthiness atau bonafiditas keuangan nasabah yang bersangkutan diungkapkan
oleh banknya kepada bank lain atau kepada perusahaan atau instansi lain yang
diinginkan oleh nasabah fasilitasnya dapat diperoleh.
o Dalam hal nasabah menunjuk seorang funds manager untuk mengurus keuangan
7Dennis Campbell (General Ed.). hal. 622-623.
23
nasabah.
o Apabila nasabah menginginkan istri atau anak-anaknya perlu mengetahui keadaan
keuangannya agar keluarga nasabah itu jangan sampai tidak mengetahui bahwa
nasabah mempunyai simpanan di bank apabila terjadi kematian mendadak atas
dirinya.
o Apabila nasabah memperoleh kredit sindikasi dari banyak bank yang menurut
ketentuan justru perolehan kredit sindikasi itu harus diumumkan (mendapat
publisitas). Publisitas mengenai perolehan kredit sindikasi tersebut bukan saja untuk
kepentingan bank-bank peserta sindikasi, tetapi juga diinginkan oleh nasabah demi
publisitas bonafiditasnya sehubungan dengan kemampuan nasabah tersebut untuk
memperoleh kepercayaan dari bank-bank para peserta sindikasi, lebih-lebih lagi
apabila bank-bank peserta sindikasi itu merupakan bank-bank besar dan terkemuka.
Tetapi selalu terdapat keragu-raguan bagi bank untuk mengungkapkan keadaan
keuangan suatu bank kepada pihak lain sekalipun telah ada persetujuan dari nasabah.
Ketentuan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tidak secara tegas memberikan kepastian
apakah adanya persetujuan nasabah menghapuskan kewajiban bank untuk tetap
merahasiakan sebagaimana ditentukan menurut ketentuan rahasia bank. Sehubungan
dengan adanya permasalahan tersebut diatas, maka pembuat Undang-Undang
menganggap perlu untuk mencantumkan ketentuan baru dalam Undang-Undang No. 10
Tahun 1998 , yaitu Pasal 44A. yang menentukan bahwa adanya persetujuan nasabah
membebaskan bank dari kewajiban untuk merahasiakan. Bukan saja persetujuan nasabah,
tetapi juga permintaan nasabah atau pemberian kuasa dari nasabah membebaskan bank
dari kewajban untuk merahasiakan.
Bunyi lengkap dari Pasal 44 A Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 adalah
sebagai berikut:
1. Atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari Nasabah Penyimpan yang dibuat secara tertulis,
Bank wajib memberikan keterangan mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan pada Bank
yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan tersebut.
2. Dalam hal Nasabah Penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari Nasabah
Penyimpan yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai Simpanan Nasabah
Penyimpan tersebut.
VIII.7. Rahasia Bank Dalam Hal Terdapat Kepentingan Umum
Sehubungan dengan pengecualian-pengecualian yang telah ditetapkan dalam
24
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 bersifat limitatif, maka timbul masalah apabila pada
suatu kasus tertentu terdapat kepentingan umum yang sangat tinggi prioritasnya
membutuhkan pengungkapan data yang menurut ketentuan rahasia bank harus
dirahasiakan oleh bank yang bersangkutan, maka apakah ketentuan rahasia bank itu tetap
harus dipegang teguh?
Mengenai hal ini, ketentuan rahasia bank di Inggris menentukan bahwa bank
boleh mengungkapkan data tersebut apabila hal itu dilakukan oleh bank dalam rangka
bank menjalankan keajibannya kepada masyakarat.8
Saya sependapat dengan para pakar hukum yang berpendapat bahwa
“kepentingan umum” (public interest) merupakan “alasan pembenar” bagi pelanggaran
ketentuan rahasia bank oleh bank. saya sependapat bahwa “alasan demi kepentingan
umum” menghilangkan sifat melawan hukum dari tindak pidana rahasia bank tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut, pertanyaannya ialah: Apakah bank boleh
menentukan sendiri bahwa pada suatu kasus tertentu terdapat unsur “kepentingan
umum"?. Menurut hemat saya, seperti juga banyak pakar hukum berpendapat yang sama,
bahwa ada atau tidak adanya “kepentingan umum” tidak dapat ditentukan sendiri oleh
bank, tetapi harus ditentukan oleh pengadilan secara kasuistis.
Bagaimana caranya untuk mendapatkan pendapat pengadilan itu? (1) Apakah
dengan cara meminta fatwa kepada Ketua Pengadilan Negeri atau kepada Ketua
Mahkamah Agung? (2) Apabila prosedur ini yang harus ditempuh, apa dasar hukumnya
untuk menempuh prosedur yang demikian itu? (3) Sampai sejauh mana kekuatan hukum
dari fatwa itu untuk dipatuhi oleh para hakim yang lain?
Apakah menunggu sampai pejabat bank yang bersangkutan dituntut secara pidana
oleh kejaksaan? Bila demikian halnya, maka bank akan selalu menghadapi resiko bahwa
pengadilan tidak sependapat dengan pejabat bank yang bersangkutan bahwa terdapat
unsur “kepentingan umum” dalam kasus tersebut. Apabila ternyata kemudian pengadilan
tidak sependapat bahwa dalam kasus yang sedang diperiksa itu terdapat unsur
“kepentingan umum”, maka pejabat bank tersebut terpaksa harus dijatuhi pidana karena
telah melakukan pelanggaran rahasia bank.
8Lihat Tournier v National Provicial and Union Bank of England (1924) IKB 461. yang telah diterangkan
dimuka.
25
Menurut hemat saya, seyogianya apabila Undang-Undang menetapkan unsur atau
unsur-unsur apa saja yang harus dipenuhi agar dapat ditentukan bahwa dalam suatu kasus
terdapat “kepentingan umum”. Mengingat demikian banyak Undang-Undang menyebut:
“kepentingan umum” sebagai alasan pembenar, misalnya dalam hal kejaksaan menggugat
mewakili kepentingan umum atau demi kepentingan umum, atau kejaksaan mengajukan
permohonan pailit terhadap seorang debitur dengan alasan demi kepentingan umum,
maka sebaiknya unsur atau unsur-unsur sebagaimana yang saya maksudkan itu dapat
ditentukan tidak hanya terbatas berlaku dalam hal rahasia bank saja, tetapi juga dapat
diberlakukan dalam hal-hal yang lain.
VIII.8. Rahasia Bank Terhadap Ahli Waris
Dalam hal nasabah penyimpan dana telah meninggal dunia, menurut Pasal 44A
ayat (2), ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan yang bersangkutan berhak
memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan tersebut.
VIII.9. Pengecualian Di Luar Undang-Undang Perbankan
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa pengecualian atas berlakunya
kewajiban rahasia bank ditentukan oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 hanya
untuk 7 (tujuh) hal secara limitatif atau 8 (delapan) hal apabila dihitung pula termasuk
pengecualian bagi Bank Indonesia. Namun, sesuai dengan asas hukum, tidaklah berarti
bahwa jumlah pengecualian itu tidak dapat ditambah. Hanya saja penambahan
pengecualian itu harus ditentukan dengan undang-undang pula. Bukanlah mustahil
bahwa untuk keperluan-keperluan lain di luar ketujuh hal yang telah ditentukan oleh
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, akan terdapat pula keperluan-keperluan lain yang
menghendaki dapat diungkapkan-nya materi dari rahasia bank. Misalnya saja, dalam
rangka bank melakukan IPO (Initial Public Offering) di pasar modal, BAPEPAM
menunjuk/menugasi suatu akuntan publik untuk memeriksa ulang kebenaran keadaan
keuangan calon emiten, termasuk keuangan calon emiten di bank-banknya.
26
IX. RAHASIA BANK BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG
Salah satu faktor penghalang bagi penegak hukum untuk dapat berhasil
mengungkapkan tindak pidana pencucian uang adalah ketentuan rahasia bank yang
terlalu ketat di negara yang bersangkutan. Menyadari hal yang demikian itu, maka Tim
yang merancang Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang sebagaimana kemudian telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003,
telah memberikan pengecualian kepada penyidik, penuntut umun , dan hakim untuk
memperoleh keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya dengan cara
menyimpang dari ketentuan rahasia bank yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 7
Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.
Menurut Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, untuk
kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang, penyidik,
penuntut umum atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa
Keuangan mengenai Harta Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), tersangka, atau terdakwa. Pasal
33 ayat (2) Undang-Undang tersebut menentukan bahwa dalam meminta keterangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap penyidik, penuntut umum atau hakim
tidak berlaku ketentuan Undang-Undang yang mengatur tentang rahasia bank dan
kerahasiaan transaksi keuangan lainnya. Yang dimaksud dengan Penyedia Jasa
Keuangan di dalam Pasal 33 ayat (1) tersebut adalah Penyedia Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian
Uang yaitu:
setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan
keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek,
pengelola reksadana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang
valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos.
Sedangkan yang dimaksud dengan Harta Kekayaan sebagaimana dimaksud pada Pasal
33 ayat (1) tersebut adalah Harta Kekayaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 4
Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu
semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud.
Dengan demikian ketentuan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana
Pencucian Uang tersebut merupakan tambahan pengecualian dari pengecualian27
pengecualian terhadap berlakunya ketentuan rahasia bank yang telah ditentukan di dalam
Undang-Undang Perbankan. Dengan kata lain, pengecualian ini merupakan pengecualian
yang ke sembilan.
Agar penggunaan fasilitas pengecualian yang diberikan oleh Undang-Undang
Tindak Pidana Pencucian Uang tidak digunakan secara serampangan atau
disalahgunakan, maka Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) dari Undang-Undang Tindak Pidana
Pencucian Uang tersebut memberikan rambu-rambu bagi penyidik, penuntut umum atau
hakim dalam mengajukan permintaan keterangan kepada penyedia jasa keuangan.
Ditentukan oleh Pasal 33 ayat (3):
Permintaan keterangan harus diajukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai:
1. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
2. identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa;
3. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
4. tempat Harta Kekayaan berada.
Sementara itu Pasal 33 ayat (4) menentukan:
Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
harus ditandatangani oleh:
1. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kepala Kepolisian Daerah dalam hal
permintaan diajukan oleh penyidik;
2. Jaksa Agung Republik Indonesia atau Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan
diajukan oleh penuntut umum;
3. Hakim Ketua Majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan.
Dari ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang
tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank dalam
rangka pemberantasan dan penindakan tindak pidana pencucian uang hanya dapat
diberikan apabila pemeriksaan tindak pidana pencucian uang telah memasuki tahap
penyidikan. Artinya, nasabah penyimpan harus telah menjadi tersangka. Apabila
masih dalam tahap penyelidikan, sehingga karena itu nasabah penyimpan belum menjadi
tersangka, maka keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya tidak boleh
diungkapkan oleh bank.
X. RAHASIA BANK BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
kemudian telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, menentukan bahwa
penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa perkara tindak pidana korupsi,
dalam memperoleh keterangan dari bank mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya
28
yang telah menjadi tersangka harus memenuhi ketentuan Pasal 42 Undang-Undang
Perbankan. Artinya, sekalipun kepada penyidik, penuntut umum, dan hakim yang
memeriksa perkara tindak pidana korupsi dapat memperoleh keterangan mengenai
nasabah penyimpan dan simpanannya dari bank, namun dalam memperoleh keterangan
itu harus terlebih dahulu memperoleh izin dari Pimpinan Bank Indonesia. Dengan kata
lain, dalam perkara tindak pidana korupsi tidak diatur secara khusus bagi penyidik,
penuntut umum, dan hakim untuk dapat memperoleh keterangan dari bank mengenai
nasabah penyimpan dan simpanannya, yang menyimpang dari ketentuan bagi penyidik,
penuntut umum, dah hakim yang memeriksa perkara-perkara tindak pidana selain tindak
pidana korupsi. Namun tidak demikian halnya bagi Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Pasal 12 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, menentukan bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan dalam memeriksa tindak pidana korupsi, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang antara lain meminta keterangan kepada bank atau
lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang
sedang diperiksa. Namun, Pasal 12 maupun pasal-pasal lain dari Undang-Undang No. 30
Tahun 2002 tersebut tidak memberikan ketentuan atau keterangan apakah KPK untuk
meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa
yang sedang diperiksa (dalam perkara tindak pidana korupsi, penulis) harus terlebih
dahulu memperoleh izin dari Pimpinan Bank Indonesia. Karena tidak ada keterangan
apapun, maka di kalangan perbankan telah simpang siur penafsirannya yaitu apakah
dalam hal KPK memperoleh keterangan tersebut KPK tidak perlu terlebih dahulu
meminta ijin dari Pimpinan Bank Indonesia. Untuk menghilangkan keragu-raguan di
kalangan perbankan mengenai perlu atau tidaknya KPK terlebih dahulu memperoleh izin
dari Pimpinan Bank Indonesia, maka Bank Indonesia dengan suratnya No.
6/2/GBI/DHk/Rahasia perihal pertimbangan hukum atas pelaksanaan kewenangan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan ketentuan rahasia bank telah
meminta pertimbangan hukum atas pelaksanaan kewenangan Komisi Pemberantasan
Korupsi terkait dengan rahasia bank kepada Ketua Mahkamah Agung. Surat tersebut
telah memperoleh jawaban dari Ketua Mahkamah Agung dengan suratnya No.
KMA/694/RHS/XII/2004 tanggal 3 Desember 2004. Menurut Ketua Mahkamah Agung
dalam suratnya itu bahwa:
29
“ketentuan undang-undang yang baru (Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 mengenai KPK,
penulis) “mengesampingkan undang-undang yang lebih lama, maka perosedur ijin membuka
rahasia bank sebagaimana yang diatur dalam Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang No.
20 Tahun 2001 jo. Pasal 42 Undang-Undang Perbankan tidak berlaku bagi Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK)”.
Berkenaan dengan pendapat Ketua Mahkamah Agung tersebut di atas, maka bagi KPK
untuk dapat memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan nasabah pada bank
yang nasabahnya telah menjadi tersangka, tidak perlu memperoleh ijin terlebih dahulu
dari Pimpinan Bank Indonesia. Dengan demikian ketentuan ini merupakan pengecualian
yang ke sepuluh dari ketentuan rahasia bank.
XI. PEMBLOKIRAN DAN/ATAU PENYITAAN SIMPANAN NASABAH
Apakah untuk melakukan pemblokiran atau penyitaan simpanan nasabah,
penyidik, penuntut umum, atau hakim perlu terlebih dahulu memperoleh ijin dari
Pimpinan Bank Indonesia? Mengenai hal ini dalam Peraturan Bank Indonesia No.
2/19/PBI/2000 tanggal 7 September 2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian
Perintah atau Ijin Tertulis Membuka Rahasia Bank, Bank Indonesia telah memberikan
pedoman bagi perbankan. Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia itu menentukan bahwa
pemblokiran dan/atau penyitaan yang dilakukan oleh polisi, jaksa, atau hakim dapat
dilakukan tanpa memperoleh ijin terlebih dahulu dari Pimpinan Bank Indonesia. Pasal 12
tersebut lengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1) Pemblokiran dan/atau penyitaan Simpanan atas nama seorang Nasabah penyimpan yang telah
dinyatakan sebagai tersangka atau terdakwa oleh polisi, jaksa, atau hakim, dapat dilakukan
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa memerlukan ijin dari Pimpinan
Bank Indonesia.
(2) Dalam hal polisi, jaksa, atau hakim bermaksud memperoleh keterangan mengenai Nasabah
Penyimpan dan Simpanan Nasabah yang diblokir dan/atau disita pada Bank sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
XII. HAK NASABAH UNTUK MENGETAHUI ISI KETERANGAN YANG
DIUNGKAPKAN
Apabila ada pihak yang merasa dirugikan oleh keterangan yang diberikan oleh
bank berhubungan dengan pelaksanaan Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44, maka
pihak yang dirugikan itu berhak untuk mengetahui isi keterangan yang diberikan oleh
Bank dan meminta pembetulan jika terdapat kesalahan dalam keterangan yang diberikan.
30
Demikian ditentukan oleh Pasal 45 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992. Menurut
penjelasan Pasal 45 itu, apabila permintaan pembetulan oleh pihak yang merasa
dirugikan akibat keterangan yang diberikan oleh bank tidak dipenuhi oleh bank, maka
pihak yang bersangkutan dapat mengajukan masalah itu ke pengadilan yang berwenang.
Undang-Undang tidak membatasi bahwa yang merupakan pihak yang merasa
dirugikan hanyalah pihak nasabah saja. Dengan demikian siapapun juga, baik nasabah itu
sendiri mapun pihak lain bila merasa dirugikan oleh pemberian keterangan itu dapat
meminta agar bank melakukan pembetulan yang dimaksud.
Dalam hal bank tersebut tidak bersedia melakukan pembetulan yang diminta oleh
pihak yang dirugikan, maka pihak yang dirugikan itu bukan saja dapat menggugat bank
melalui pengadilan perdata, tetapi dapat pula mengadukan halnya kepada pihak
kepolisian/kejaksaan berdasarkan alasan bahwa bank tersebut telah melakukan tindak
pidana yang ditentukan oleh Pasal 49 ayat (2) huruf b dari Undang-Undang No. 10 Tahun
1998. Bunyi lengkap Pasal 49 ayat (2) huruf b adalah sebagai berikut:
“Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak
melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank
terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perUndang-
Undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurangkurangnya
3 (tiga) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda sekurang-kurangnya
Rp. 5.000.000.000,- dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,- (seratus milyar rupiah).”
Sanksi pidana penjara dan denda menurut Pasal 49 ayat (2) huruf b tersebut
bersifat kumulatif dan bukan alternatif.
XIII. TINDAK-TINDAK PIDANA YANG MENYANGKUT RAHASIA BANK
Secara eksplisit ada dua jenis tindak pidana yang ditentukan oleh Pasal 47
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang berkaitan dengan rahasia bank. (1) Yang
pertama ialah tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang tanpa membawa perintah
atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia dengan sengaja memaksa bank atau pihak yang
terafiliasi untuk memberikan keterangan yang harus dirahasiakan oleh bank. Hal itu
ditentukan oleh Pasal 47 ayat (1). (2) Sedang tindak pidana yang kedua ialah tindak
pidana yang dilakukan oleh anggota Dewan Komisaris, Direksi, Pegawai Bank atau
pihak terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib
dirahasiakan oleh bank. Tindak pidana tersebut ditentukan oleh Pasal 47 ayat (2).
31
Untuk jelasnya dikutip bunyi lengkap Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang No. 10 Tahun 1998 tersebut sebagai berikut:
Pasal 47
(1) Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A dan Pasal 42, dengan sengaja bank atau
pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40,
diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4
(empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar
rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,- (dua ratus milyar rupiah).
(2) Anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan
sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan
pidana sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama paling lama 4 (empat) tahun serta
denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,- (empat milyar rupiah) dan paling banyak
Rp. 8.000.000.000,- (delapan milyar rupiah).
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 47 ayat (1) tersebut di atas, yang perlu
dipermasalahkan apakah pihak yang memaksa dapat dituntut telah melakukan tindak
pidana berdasarkan Pasal 47 ayat (1) itu sekalipun pihak yang memaksa tidak sampai
berhasil membuat pihak bank atau pihak terafiliasi memberikan keterangan yang diminta
secara paksa itu. Ataukah pihak yang memaksa dapat dikenai pidana karena melakukan
percobaan tindak pidana Pasal 47 ayat (1) tersebut. Menurut hemat saya, karena tindak
pidana cfm Pasal 47 ayat (1) itu merupakan tindak pidana formal, maka pihak yang
memaksa tersebut tetap saja dapat dituntut dan dikenai pidana sekalipun tidak sampai
berhasil membuat pihak bank atau pihak terafiliasi memberikan keterangan yang diminta
itu.
Telah dipermasalahkan oleh masyarakat mengenai hal-hal sebagai berikut:
a. Apakah mereka yang memperoleh keterangan dari bank mengenai identitas nasabah
dan simpanannya yang diperolehnya berdasarkan surat perintah atau izin Pimpinan
Bank Indonesia boleh lebih lanjut memberikan keterangan itu kepada pihak lain?
b. Apakah mereka yang memperoleh keterangan dari bank yang dilakukan oleh bank
tidak dalam rangka pengecualian yang ditentukan oleh Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42,
Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 44A (menggunakan bocoran rahasia bank) dapat
dipidana?
c. Apakah dasar hukum dari pemidanaan bagi mereka yang termasuk dalam huruf (b)
tersebut di atas?
Mengenai mereka yang termasuk huruf (a) di atas tidak diatur oleh Undang-
Undang No. 10 Tahun 1998. Artinya, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tidak
32
menentukan sebagai hal yang dilarang, tetapi juga tidak menentukan sebagai yang
diperbolehkan. Menurut hemat saya, penggunaan keterangan yang diperoleh dalam
rangka pengecualian itu hanya terbatas kepada tujuan diperolehnya keterangan itu. (1)
Misalnya pihak Kejaksaan yang memperoleh keterangan tersebut dalam rangka
pengusutan tindak pidana hanyalah boleh menggunakan keterangan itu terbatas kepada
keperluan untuk melakukan penuntutan tindak pidana yang akan dituduhkan kepada
nasabah yang bersangkutan. (2) Misalnya pula bank yang memperoleh keterangan dari
bank lain dalam rangka informasi antar bank hanyalah boleh menggunakan keterangan
yang diperolehnya itu terbatas dalam rangka tujuan bank untuk memperoleh informasi
tersebut, yaitu misalnya untuk bahan mempertimbangkan permohonan kredit yang
dimohon oleh nasabah tersebut. Dengan kata lain, adalah hanya untuk kepentingan bank
yang meminta informasi itu.
Menurut hemat saya, mereka yang termasuk dalam huruf (b) tersebut di atas
mungkin masih dapat diperdebatkan dengan keras mengenai dapat tidaknya mereka itu
dituntut karena telah melakukan tindak pidana, dan masih pula dapat diperdebatkan
dengan keras mengenai macam tindak pidana apa yang telah dilakukan mereka itu.
Namun bila nasabah berpendapat telah dirugikan sebagai akibat penggunaan keterangan
yang nasabah itu oleh mereka yang memperoleh keterangan itu dari pihak bank yang
membocorkannya secara bertentangan dengan rahasia bank, maka nasabah tersebut dapat
mengajukan ganti kerugian kepada mereka itu berdasarkan "Perbuatan Melawan Hukum"
sebagaimana diatur oleh Pasal 1365 KUH Perdata.
XIV. PENCURIAN INFORMASI RAHASIA BANK OLEH BUKAN ORANG
DALAM BANK
Yang saya maksudkan dengan “informasi rahasia bank” ialah data atau informasi
bank mengenai identitas nasabah penyimpan dan simpanannya yang merupakan obyek
ketentuan kewajiban rahasia bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1)
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Sedangkan yang saya maksudkan dengan
“pencurian informasi rahasia bank” ialah pengambilan informasi rahasia bank oleh bukan
orang dalam bank. Misalnya (1) pengambilan informasi rahasia bank oleh para hackers
yang berhasil mengakses data bank tersebut melalui komputer atau (2) oleh seseorang
yang berhasil secara fisik memasuki bank, baik dengan cara bertamu dengan baik-baik
33
atau dengan cara menyelinap ke dalam bank seperti laiknya seorang pencuri. Apa sanksi
bagi pelaku tersebut? Data itu sendiri keluar dari bank bukan karena adanya orang dalam
bank yang membocorkan rahasia bank.
Mengenai hal ini, Undang-Undang Perbankan juga belum mengatur sanksinya.
Menurut hemat saya sanksi bagi pelaku yang melakukan pencurian informasi rahasia
bank harus ditentukan pula secara khusus dan tegas. Memang tidak mustahil untuk
menerapkan sanksi pidana dari tindak pidana pencurian sebagaimana diatur dalam KUH
Pidana. Namun demi tercapainya tujuan diadakannya ketentuan mengenai kewajiban
rahasia bank, maka pengaturan secara khusus dan tegas mengenai sanksi pencurian
informasi rahasi bank perlu dilakukan.
XV. PENGGUNAAN INFORMASI RAHASIA BANK YANG ILEGAL
Sanksi bagi pegawai bank yang memberikan atau menyerahkan informasi
mengenai identitas nasabah penyimpan maupun simpanannya kepada pihak yang tidak
berhak telah diatur oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Namun ternyata Undang-
Undang belum mengatur apa sanksi bagi pihak yang menggunakan informasi rahasia
bank yang perolehan informasi itu dilakukan secara ilegal. Mungkin saja pengguna
informasi rahasia bank itu tidak memperoleh informasi itu dengan paksa atau dengan cara
ilegal, dengan kata lain diberi secara baik-baik oleh pihak pemberi informasi. Bahkan
dapat diperoleh sebagai hasil laporan masyarakat kepada pihak pengguna informasi
rahasia bank itu dalam rangka pemberantasan KKN di Indonesia. Tetapi yang jelas, (1)
tidak mungkin informasi rahasia bank dapat diperoleh apabila tidak dibocorkan oleh
orang dalam bank (termasuk pihak-pihak terafiliasi lainnya, seperti misalnya auditor
yang melakukan pemeriksaan terhadap bank) atau (2) sebagai hasil pencurian atas
informasi tersebut oleh bukan orang dalam. Misalnya, apabila ada suatu LSM atau media
cetak atau media elektronik yang menggunakan atau menyiarkan informasi mengenai
identitas atau simpanan suatu nasabah bank yang dilindungi oleh ketentuan rahasia bank
yang diperoleh oleh LSM atau media cetak atau media elektronik itu dari sumber orang
dalam. Bagi orang dalam tersebut jelas dapat dikenai sanksi pidana karena telah
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan rahasia bank. Tetapi apa sanksi pidana bagi
LSM atau media cetak atau media elektronik itu?
Kita pernah menghadapi 2 (dua) kasus penggunaan informasi rahasia bank oleh
pihak diluar bank yang bukan pihak-pihak yang ditentukan oleh Undang-Undang No. 10
34
Tahun 1998 sebagai pihak-pihak yang dapat memperoleh informasi rahasia bank
berdasarkan ketentuan pengecualian (bukan pejabat pajak, pejabat kepolisian, pejabat
kejaksaan, hakim, bank lain dalam rangka informasi antar bank, dan lain-lain). Kasus
yang pertama adalah kasus yang berkaitan dengan rekening Andi M.Ghalib, Jaksa
Agung Non-Aktif, pada Bank LIPPO Cabang Melawai, yaitu sehubungan dengan
kecurigaan telah melakukan tindak pidana korupsi oleh Andi M. Ghalib. Indonesian
Corruption Watch (ICW) telah membeberkan rekening Andi M. Ghalib, yang belakangan
diakui oleh Andi M. Ghalib sebagai rekening Persatuan Gulat Seluruh Indonesia (PGSI),
kepada publik yang kemudian telah dikutip oleh media cetak dan elektronik. ICW telah
menegaskan bahwa data tersebut diperoleh dari masyarakat. Dengan pernyataannya itu,
ICW tersebut ingin menegaskan bahwa data itu tidak diperoleh dari pembocoran rahasia
bank oleh orang dalam Bank LIPPO. Kasus kedua bersangkutan dengan apa yang oleh
media cetak dan media elektronik disebut sebagai skandal Bank Bali yang telah
melibatkan Satya Novanto (Wakil Bendahara GOLKAR), Djoko S. Chandra (Pemilik
Mulia Group yang antara lain memiliki Hotel Mulia Jakarta), dan Pande Lubis (Wakil
Ketua BPPN) yang telah diungkapkan oleh Sdr. Prajoto, pakar hukum perbankan. Dalam
kasus kedua tersebut telah terungkap bahwa orang dalam PT. Bank Negara Indonesia
(Persero) telah mengungkapkan adanya penerimaan uang sebesar Rp. 120 miliar untuk
rekening atas nama Satya Novanto pada private banking PT. Bank Negara Indonesia
(Persero).
Dari kedua kasus tersebut, terdapat penggunaan informasi rahasia bank oleh pihak
diluar bank yang bukan pihak-pihak yang ditentukan oleh Undang-Undang No. 10 Tahun
1998 sebagai pihak-pihak yang dapat memperoleh informasi rahasia bank berdasarkan
ketentuan pengecualian. Pada kasus yang pertama, informasi itu mungkin merupakan (1)
hasil pencurian atas informasi rahasia bank oleh bukan orang dalam bank, sekalipun tidak
menutup kemungkinan (2) ada orang dalam bank yang memang telah membocorkan
rahasia bank itu. Dari berita-berita di media cetak, informasi rahasia bank kemungkinan
bocornya dari auditor Bank Indonesia yang belum lama sebelum kejadian pengungkapan
oleh ICW atas rekening Andi M. Ghalib itu, telah melakukan pemeriksaan setempat
terhadap Bank LIPPO. Pada kasus yang kedua informasi rahasia bank itu besar
kemungkinan diperoleh dari orang dalam PT. Bank Negara Indonesia (Persero). Dengan
kata lain, kemungkinan informasi rahasia bank itu diperoleh dari hasil pembocoran
35
rahasia bank oleh orang dalam PT. Bank Negara Indonesia (Persero) yang terhadapnya
dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang No. 10 Tahun
1998.
Menurut hemat saya, seyogianya dibuat aturan sanksi secara khusus dan tegas
mengenai penggunaan informasi rahasia bank yang ilegal sebagaimana contoh di atas,
dan bukan menjatuhkan sanksi dengan cara mencari-cari terlebih dahulu apa pasal yang
tepat dalam KUH Pidana untuk kasus tersebut. Kriminalisasi pelanggaran terhadap
penggunaan informasi rahasia bank yang ilegal itu sangat diperlukan sebagai
kelengkapan dari pengaturan kewajiban rahasia bank. Tidak diaturnya secara khusus dan
tegas mengenai sanksi pidana atas penggunaan informasi rahasia bank yang ilegal itu
akan dapat menghambat tercapainya tujuan diadakannya ketentuan mengenai kewajiban
rahasia bank.
XVI. RAHASIA BANK BAGI BANK YANG TELAH DICABUT IJIN
USAHANYA
Berdasarkan ketentuan Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Perbankan, Bank
Indonesia dapat mencabut ijin usaha bank. Sehubungan dengan ketentuan rahasia bank,
apakah pegawai dari bank yang telah dicabut ijin usahanya itu masih harus merahasiakan
keadaan keuangan nasabah dari bank tersebut? Jawaban atas pertanyaan tersebut terkait
dengan persepsi hukum apakah suatu bank yang telah dicabut ijin usahanya masih secara
yuridis dapat diklasifikasikan sebagai bank? Apabila jawaban atas pertanyaan itu adalah
bahwa bank yang telah dicabut ijin usahanya secara yuridis masih diklasifikasikan
sebagai bank, maka sudah barang tentu bank yang telah dicabut ijin usahanya itu masih
terikat pada ketentuan rahasia bank. Sedangkan apabila bank yang telah dicabut ijin
usahanya tidak lagi diklasifikasikan sebagai bank, maka bank yang telah dicabut ijin
usahanya itu tidak lagi terikat pada ketentuan rahasia bank.
Akan menjadi perdebatan yang bertele-tele untuk mempermasalahkan secara
yuridis apakah bank yang telah dicabut ijin usahanya masih atau tidak lagi
diklasifikasikan sebagai bank. Oleh karena itu, akan menjadi perdebatan yang bertele-tele
pula untuk mempermasalahkan secara yuridis apakah bank yang telah dicabut ijin
usahanya itu masih terikat pada ketentuan rahasia bank. Oleh karena itu menurut hemat
36
saya, seyogianya Undang-Undang Perbankan menegaskan mengenai masih atau tidak
lagi berlakunya rahasia bank bagi anggota direksi, komisaris, dan pegawai bank yang
telah dicabut ijin usahanya dan setelah mereka tidak lagi terikat dengan bank yang telah
dicabut ijin usahanya itu.
Nasabah dari bank yang telah dicabut ijin usahanya harus tetap dilindungi
kepentingannya. Pada waktu para nasabah tersebut berhubungan untuk pertama kalinya
dengan bank tersebut, adalah dilandasi oleh persepsi yuridis bahwa identitas dan keadaan
keuangannya akan dirahasiakan. Apabila kemudian hari ternyata bank tersebut dicabut
ijin usahanya, seyogianya para nasabah itu tidak menjadi korban kesalahan dari
manajemen bank tersebut yang telah mengakibatkan bank itu dicabut ijin usahanya.
Mereka bukan pihak yang ikut bersalah. Oleh karena itu, dalam Undang-Undang
Perbankan harus ada ketentuan bahwa anggota direksi, komisaris, dan pegawai bank
yang telah dicabut ijin usahanya dan beberapa tahun (misalnya dalam jangka waktu
sepuluh tahun) sejak tidak lagi menjadi anggota direksi, komisaris, dan pegawai bank
yang telah dicabut ijin usahanya itu tetap terikat oleh ketentuan rahasia bank.
Ketentuan yang serupa hendaknya pula ditentukan bagi bank yang dinyatakan
pailit berdasarkan putusan pengadilan. Harus dipahami bahwa menurut Undang-Undang
Kepailitan, debitor yang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan, tidak bubar.
Ketentuan ini berlaku pula bagi bank yang diputuskan pailit. Ijin usaha dari bank yang
diputuskan pailit oleh pengadilan tidak ditentukan dicabut ijin usahanya oleh Bank
Indonesia. Pencabutan ijin usaha bank oleh Bank Indonesia hanyalah apabila Bank
Indonesia melakukan tindakan berdasarkan Pasal 37 Undang-Undang Perbankan.
Sedangkan menurut Undang-Undang Kepailitan, sekalipun permohonan pailit terhadap
bank hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia, namun Undang-Undang Kepailitan
tidak menentukan tentang keharusan Bank Indonesia mencabut ijin usaha bank.
XVII. RAHASIA BANK BAGI BANK DALAM PROSES LIKUIDASI
Likuidasi suatu perusahaan merupakan hulu dari dua hal, yaitu yang pertama
karena perusahaan bubar atau yang kedua karena perusahaan diputuskan pailit oleh
pengadilan. Perusahaan bubar adalah karena dua hal pula, yaitu bubar demi hukum,
misalnya karena masa usianya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasarnya telah
37
berakhir, atau karena dibubarkan, yaitu dibubarkan oleh para pemegang sahamnya
secara sukarela atau atas perintah otoritas yang berwenang (misalnya pembubaran bank
oleh RUPS atas perintah Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2)
Undang-Undang Perbankan), atau dibubarkan berdasarkna putusan pengadilan.
Bagi bank yang dilikuidasi sebagai konsekuensi putusan pailit pengadilan,
sedangkan ijin usaha bank tidak dicabut oleh Bank Indonesia, sudah barang tentu rahasia
bank masih berlaku bagi para anggota direksi, komisaris, dan pegawai bank tesebut.
Namun bagi bank yang dilikuidasi sebagai akibat ijin usahanya dicabut oleh Bank
Indonesia dan kemudian bank itu dibubarkan dan dilikuidasi, baik pembubaran dan
likuidasi itu dilakukan secara sukarela oleh RUPS (Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang
Perbankan) atau berdasarkan putusan pengadilan atas permintaan Bank Indonesia (Pasal
37 ayat (3) Undang-Undang Perbankan), menurut saya, ketentuan rahasia bank masih
tetap berlaku selama proses likuidasi belum selesai. Namun untuk menghindarkan
ketidakpastian hukum bagi semua pihak, seyogianya hal ini ditentukan secara tegas di
dalam Undang-Undang Perbankan.
XVIII.SANKSI-SANKSI PIDANA DAN PERDATA
Pelanggaran terhadap ketentuan rahasia bank dapat berakibat bagi pelanggarnya
memikul sanksi pidana maupun perdata. Di bawah ini akan diuraikan apa ujud sanksi
pidana maupun sanksi perdata tersebut.
XVI.1. Sanksi Pidana
1. Mereka yang memaksa pihak bank dan pihak terafiliasi untuk
memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 Undang-
Undang No. 10 Tahun 1998, diancam dengan pidana penjara sekurangkurangnya
2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda
sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) dan
paling banyak Rp. 200.000.000.000,- (dua ratus milyar rupiah), demikian
menurut Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang No.10 Tahun 1998. Baik
sanksi pidana penjara maupun denda tersebut dijatuhkan secara kumulatif
dan bukan secara alternatif. Artinya, hakim tidak dapat mejatuhkan salah
satu saja dari bentuk sanksi pidana itu, tetapi harus kedua-duanya.
38
Demikian pula terpidana tidak dapat memilih salah satu jenis pidana
tersebut.
2. Perbuatan melanggar rahasia bank yang dilakukan oleh anggota dewan
komisaris, direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya adalah
tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara sekurangkurangnya
2(dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda
sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,- (empat milyar rupiah) dan
paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan milyar rupiah), demikian
ditentukan oleh Pasal 47 jo Pasal 51 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.
Kedua sanksi pidana tersebut, yaitu sanksi pidana penjara dan denda
dijatuhkan secara kumulatif dan bukan secara alternatif.
Sekedar sebagai perbandingan dapat dikemukakan bahwa sanksi yang dijatuhkan
bagi pelanggaran rahasia bank di Perancis, yang merupakan tindak pidana yang termasuk
tindak pidana Pasal 37 KUH Perdata Perancis, dapat dikenai pidana penjara selama 1-6
bulan dan denda sebesar FF 500 sampai FF 15.0009. Di Luxembourg pelanggaran rahasia
bank merupakan pelanggaran terhadap Pasal 458 KUH Pidana dan dapat dikenai pidana
penjara antara 8 hari sampai 6 tahun dan denda berkisar antara 10.000 sampai 50.000
Francs10. Sedangkan menurut Pasal 23 Credit Systemm Act (KWG) dari Austria, orang
yang membocorkan rahasia bank atau menggunakan fakta yang merupakan materi yang
harus dirahasiakan menurut ketentuan rahasia bank dengan maksud untuk memperkaya
diri sendiri atau pihak ketiga dapat dijatuhi hukuman paling lama 1 (satu) tahun penjara
atau denda11. Di Korea Selatan membocorkan rahasia bank merupakan pelanggaran
terhadap Pasal 6 dari Real Name Financial Law yang dapat dikenai pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda 3.000.000 Won. Bila pembocoran rahasia bank itu
dituntut menurut Pasal 208 dari Securities and Exchange Law sanksinya adalah pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda 20.000.000 Won12.
9Francis Neate & Roger McCormick, hal 116 dan 117.
10Francis Neate & Roger McCormick, hal. 166.
11Francis Neate & Roger McCormick, hal. 37.
12Francis Neate & Roger McCormick, hal. 37.
39
XVI.2. Sanksi Perdata
Apakah bagi nasabah yang dirugikan karena keadaan keuangannya dibocorkan
oleh bank hanya dapat mengadukan kepada pihak kepolisian atau ke pihak kejaksaan
saja? Atau dapat pulakah ia menuntut ganti kerugian dari bank?
Nasabah yang merasa dirugikan mempunyai hak untuk menuntut ganti kerugian
dari bank yang membocorkan keterangan mengenai dana simpanannya melalui proses
gugat-ginugat (litigasi) di pengadilan perdata berdasarkan dua alas an hukum. Alasan
hukumnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, hubungan hukum antara bank dan nasabah adalah suatu fiduciary
relation (hubungan kepercayaan). Bahwa hubungan hukum antara bank dan nasabah
adalah suatu fiduciary relation telah diakui secara luas oleh putusan pengadilan di
banyak negara. Sebagai suatu fiduciary relation, maka bank mempunyai duty of fiduciary
terhadap nasabah. Menurut asas hukum, dalam suatu duty of fiduciary apabila pihak yang
harus mengemban kepercayaan ternyata mengungkapkan hal yang harus dirahasiakan
mengenai pihak lainnya, maka terhadap perbuatannya itu dapat dimintai pertanggungjawaban
secara perdata13.
Kedua, nasabah yang dirugikan itu dapat pula menggugat bank berdasarkan dalih
bahwa bank telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum berdasarkan Pasal 1365 KUH
Perdata. Jelas bahwa perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang dilanggar oleh
bank itu adalah Pasal 40 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.
13Untuk lebih mendalam harap dibaca: Sutan Remy Sjahdeini. Kebebasan berkontrak dan Perlindungan
yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir
Indonesia, 1993, hal. 162 et seq. Juga baca Dennis Campbell, hal. 7 dan 8, hal. 628.
i
Daftar Isi
Halaman
I. PENDAHULUAN...............................................................................................1
II. SEJARAH MUNCULNYA KONSEP RAHASIA BANK.................................3
III. BERBAGAI MASALAH BERKAITAN DENGAN RAHASIA BANK...........5
IV. RUMUSAN PENGERTIAN RAHASIA BANK DAN RUMUSAN TINDAK
PIDANA RAHASIA BANK...............................................................................7
V. LINGKUP RAHASIA BANK ............................................................................9
VI. INFORMASI MENGENAI MANTAN NASABAH........................................11
VII. PIHAK-PIHAK YANG BERKEWAJIBAN MEMEGANG TEGUH RAHASIA
BANK................................................................................................................12
VII.1. Pihak-Pihak Yang Berkewajiban Merahasiakan....................................12
VII.2. Pengertian Pegawai Bank .......................................................................12
VII.3. Kewajiban Merahasiakan Bagi Mantan Pegawai Bank.........................13
VII.4. Pengertian Pihak Terafiliasi lainnya. ......................................................14
VIII. PENGECUALIAN ATAS BERLAKUNYA RAHASIA BANK .....................14
VIII.1.Pengecualian yang telah diatur dalam Undang-Undang Perbankan
.................................................................................................................14
VIII.2.Rahasia Bank Dalam Perkara Perdata Antara Bank Dan Pihak Ketiga
Bukan Nasabah Yang Menyangkut Simpanan Nasabah.........................16
VIII.3. Rahasia Bank Terhadap Hakim Dalam Perkara Pidana ........................17
VIII.4. Rahasia Bank Terhadap Bank Indonesia...............................................18
VIII.5. Rahasia Bank Terhadap Badan Pemeriksa Keuangan...........................19
VIII.6. Rahasia Bank Dalam Hal Ada Persetujuan Nasabah ............................20
VIII.7. Rahasia Bank Dalam Hal Terdapat Kepentingan Umum......................23
VIII.8. Rahasia Bank Terhadap Ahli Waris ......................................................25
ii
VIII.9. Pengecualian Di Luar Undang-Undang Perbankan...............................25
IX. RAHASIA BANK BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN
UANG ...............................................................................................................26
X. RAHASIA BANK BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI.27
XI. PEMBLOKIRAN DAN/ATAU PENYITAAN SIMPANAN NASABAH ......29
XII. HAK NASABAH UNTUK MENGETAHUI ISI KETERANGAN YANG
DIUNGKAPKAN..............................................................................................29
XIII. TINDAK-TINDAK PIDANA YANG MENYANGKUT RAHASIA BANK..30
XIV. PENCURIAN INFORMASI RAHASIA BANK OLEH BUKAN ORANG
DALAM BANK................................................................................................32
XV. PENGGUNAAN INFORMASI RAHASIA BANK YANG ILEGAL .............33
XVI. RAHASIA BANK BAGI BANK YANG TELAH DICABUT IJIN USAHANYA
...........................................................................................................................35
XVII. RAHASIA BANK BAGI BANK DALAM PROSES LIKUIDASI .................36
XVIII.SANKSI-SANKSI PIDANA DAN PERDATA
...........................................................................................................................37
XVI.1. Sanksi Pidana ........................................................................................37
XVI.2. Sanksi Perdata .......................................................................................39